UNAIR NEWS – Perdebatan panjang antara bangsa Pakistan Barat (Pakistan sekarang, red) dan Pakistan Timur (Bangladesh sekarang, red) dalam memperjuangkan eksistensi bahasa lokal untuk menjadi bahasa nasional di negara tersebut, menjadi titik balik lahirnya Hari Bahasa Ibu Internasional yang secara resmi diputuskan oleh UNESCO jatuh pada tanggal 21 Februari.
Untuk memaknai Hari Bahasa Ibu Internasional, tim UNAIR News mewawancarai pakar linguistik budaya Universitas Airlangga Dr. Ni Wayan Sartini, M.Hum., Selasa (21/2). Wayan, sapaan akrabnya, dosen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UNAIR menjelaskan, keberadaan bahasa ibu merupakan suatu hal yang mutlak. Pasalnya, bahasa ibu lah yang pertama kali menjadi ujaran bagi setiap penutur.
“Kalau meruntut pengertian bahasa ibu, ini masih menjadi diskusi panjang, ada yang mengatakan sebagai bahasa daerah, ada yang mengatakan sebagai bahasa pertama yang diujarkan. Bagi saya, keduanya bisa benar, tergantung konteksnya,” terang Wayan.
BACA JUGA: Mari Hapus Stigma Buruk Pada Penderita Bipolar
Ditanya perihal eksistensi sebuah bahasa lokal yang menjadi bahasa pertama bagi sebagian besar penutur, Wayan menjelaskan, kearifan dan nilai pada sebuah bahasa akan menggambarkan budaya seorang penutur. “Bahasa itu menunjukkan dari bangsa dan budaya mana seseorang itu berasal,” imbuhnya.
Wayan menegaskan, keterbukaan di era global seperti sekarang ini hendaknya tak menjadi penghalang untuk setiap penutur bahasa daerah meninggalkan kearifan dan nilai bahasa ibu.
“Silakan berpikir global mempelajari bahasa asing. Tapi, jangan sampai tercerabut dari akar kebudayaan sendiri. Jadi, ini akar budaya, bahasa ibu kita harus kita perkuat, sembari kita berkompetisi ke ranah global,” tegas Wayan mengakhiri.
Penulis: Nuri Hermawan
Editor: Defrina Sukma S