Universitas Airlangga Official Website

Identifikasi Mikroalga Penghasil Astaxanthin Menggunakan 18S rRNA

Foto oleh theexplorer.no

Mikroalga adalah organisme bersel tunggal dengan struktur sederhana yang memiliki kemampuan untuk mengubah karbon dioksida dan air menggunakan energi matahari menjadi biomassa. Kelompok mikroalga merupakan salah satu kelompok besar yang bervariasi jenisnya mulai dari cyanobacteria prokariotik hingga alga eukariotik. Organisme ini dapat ditemukan luas di berbagai jenis perairan mulai dari perairan air tawar hingga air asin. Mikroalga dimanfaatkan secara luas sebagai sumber energi, sumber pangan alami, bahan kosmetik, bahan obat, bahan pakan dan bahan pewarna.

Mikroalga menghasilkan pigmen utama, yaitu klorofil, fikobilin, dan karotenoid. Karotenoid adalah pigmen alami yang diproduksi oleh jamur, bakteri, alga, dan tumbuhan tetapi tidak dihasilkan oleh hewan dan manusia. Karotenoid digunakan sebagai bahan dalam suplemen vitamin, kosmetik, produk makanan, kesehatan, dan zat adiktif. Karotenoid yang telah diteliti antara lain β-karoten, lutein, likopen, zeaxanthin, dan astaxanthin. Astaxanthin adalah suatu ketocarotenoid yang disintesis dalam jumlah terbatas pada mikroalga pada saat sel mengalami tekanan lingkungan atau kondisi lingkungan yang merugikan, seperti cahaya dan salinitas tinggi serta defisiensi nutrisi. Astaxanthin diketahui memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi dibandingkan dengan karotenoid lainnya. Astaxanthin diproduksi sebagai mekanisme pertahanan untuk bertahan hidup dari kehadiran reactive oxygen species (ROS). Astaxanthin banyak digunakan dalam industri makanan dan obat-obatan berbagai penyakit yang berhubungan dengan peningkatan radikal bebas seperti kanker, penyakit kardiovaskular, dan degenerative penyakit mata.

Pengambilan sampel mikroalga dilakukan pada bulan Desember 2019 di perairan mangrove, Kecamatan Sepulu, Bangkalan Madura dan di perairan utara Sowan, Tuban, Jawa Timur. Pengambilan sampel mikroalga dilakukan menggunakan jaring plankton berukuran 0,08 mm dan ditarik mendatar dengan perahu pada kecepatan konstan (10 km/jam) untuk jarak tertentu pada kedalaman air 0-50 cm. Sampel selanjutnya diisolasi, kultivasi dan purifikasi. Isolat mikroalga yang didapatkan kemudian diidentifikasi secara molekuler menggunakan 18S rRNA. Selain itu, juga dilakukan pengukuran terhadap kadar pigmen yaitu klorofil, karotenoid, dan astaxanthin dalam cekaman salinitas tinggi. Penelitian ini menggunakan cekaman salinitas sebesar 1M NaCl atau sama dengan 83% NaCl dan perlakuan tanpa cekaman salinitas(kontrol) sama dengan 35% NaCl.

Dalam laporan ini didapatkan 4 isolat yaitu B1, B2, B3, and S2, isolat B1 dan B3 berkerabat dekat dengan Chlorella sp., sedangkan isolat B2 dan S2 menunjukkan kedekatan dn engan Picochlorum maculatum. Respon pertumbuhan dari seluruh isolat menunjukkan adanya penurunan ketika diberikan cekaman kadar garam tinggi. Pemberian 1 M NaCl menyebabkan kultur memasuki fase stasioner dan kematian lebih cepat. Hal ini dikarenakan perubahan kadar garam dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan mikroalga. Selain itu, cekaman salinitas tinggi juga menyebabkan penurunan konsentrasi seluruh pigmen yang diukur dalam penelitian ini. Kadar astaxanthin tertinggi dihasilkan oleh isolat S2 pada perlakuan kontrol sebesar 140 x 10-5 ± 5,5 x 10-5 mg/L sedangkan pada perlakuan cekaman salinitas 1 M NaCl hanya diperoleh kadar astaxanthin sebesar 0,6 x 10-5 ± 0,04 x 10-5 mg/L. Hasil ini, menunjukkan bahwa perlakuan 1 M NaCl yang diberikan terlalu tinggi sehingga proses fotosintesis mikroalga tidak berjalan dengan baik. Tingginya kadar NaCl dapat menjadi racun dan mengakibatkan metabolisme sel terganggu. Pemberian stres salinitas dilaporkan dapat meningkat produksi karotenoid, terutama astaxanthin. Namun, pada laporan ini konsentrasi karotenoid dan astaxanthin tidak lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Hal ini dapat terjadi karena konsentrasi NaCl yang diberikan sangat tinggi sehingga mengakibatkan terganggunya regulator untuk pertumbuhan yang berdampak pada ketidakmampuan peningkatan sintesis enzim antioksidan termasuk diantaranya enzim untuk sintesis karotenoid dan astaxanthin. Dengan demikian, koleksi data konsentrasiklorofil, karotenoid, dan astaxanthin dalam penelitian ini tidak dapat digunakan untuk menjelaskan mekanisme karotenogenesis di dalam sel mikroalga yang mengalami cekaman salinitas NaCl 1 M. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua isolat mikroalga yang didapatkan mampu mensintesis astaxanthin bahkan dalam jumlah kecil dan dapat ditingkatkan dengan perlakuan salinitas pada konsentrasi kurang dari 1 M atau dengan perlakuan cekaman lainnya. Selain itu, penelitian ini telah mendukung eksplorasi sumber daya alam lokal Indonesia yang berpotensi menghasilkan astaxanthin.

Penulis: Dr. Ni’matuzahroh

Link: https://doi.org/10.22146/jtbb.64882

Ermavitalini, D., Rukhmana, S. Y., Meidina, T., Baskoro, L. P. D. C., Saputro, T. B., & Purnobasuki, H. (2021). Astaxanthin-Producing Microalgae Identification Using 18S rRNA: Isolates from Bangkalan Mangrove Waters and Sowan Tuban Northern Waters, East Java, Indonesia. Journal of Tropical Biodiversity and Biotechnology6(3), 64882.