Universitas Airlangga Official Website

Kementerian Kesetaraan Gender BEM FH UNAIR Soroti Bahaya Pernikahan Dini Melalui Webinar Diskusi

Pemaparan Materi tentang Pernikahan Dini oleh Talita Diva Jacinda. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Pernikahan dini (early marriage) adalah pernikahan yang dilakukan oleh anak atau remaja berusia di bawah 19 tahun. Meskipun zaman sudah semakin modern, praktik pernikahan dini masih banyak terjadi di Indonesia. Padahal, hal tersebut merupakan problematika yang harus dihapuskan. Di sinilah peran serta masyarakat diperlukan untuk mendesak pemerintah membuat kebijakan yang menekan angka praktik pernikahan dini.

Kementerian Kesetaraan Gender Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga (BEM FH UNAIR) menyelenggarakan webinar “Let’s Do It #9: Destroying Fairytale About Early Marriage” pada Sabtu (9/4/2022). Webinar yang turut mengundang Talita Diva Jacinda, Dr Indira Retno Aryatie SH MH, dan Dina Vebiana sebagai pembicara tersebut membahas mengenai maraknya praktik pernikahan dini serta bahayanya.

Pemateri pertama, Talita Diva Jacinda, memaparkan bahwa pernikahan dini saat ini sudah dianggap sebagai tren dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang serius lagi oleh masyarakat. Talita juga menambahkan bahwa pernikahan dini terjadi karena berbagai faktor, salah satunya faktor ekonomi keluarga.

“Misal ada orang tua punya anak perempuan, terus dia merasa bahwa dia tidak kuat membiayai anak perempuan itu, ya sudah deh dinikahkan saja. Toh kalau misalnya si anak perempuan ini nikah nanti hidupnya ditanggung sama keluarga cowok. Jadi, faktor ekonomi keluarga ini sebenarnya menjadi faktor yang paling besar (pengaruhnya, red). Jadi misalnya anaknya dinikahkan berarti hidupnya sudah terjamin. Padahal ini bisa menimbulkan suatu lingkaran setan,” tutur Talita.

Pemateri kedua, Dr Indira Retno, berpendapat bahwa pernikahan dini di Indonesia sudah termasuk kategori bencana nasional. Negara Indonesia sendiri, sambungnya, menempati peringkat kedua di Asia dan peringkat kedelapan di dunia dalam tingginya kasus pernikahan dini.

Usia minimal pernikahan di Indonesia, lanjut Indira, terlalu rendah. Hal inilah yang menurutnya melanggengkan praktik pernikahan dini di Indonesia.

“Laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Secara tidak langsung ini melegalkan perkawinan dini. Umur 16 tahun itu masuk dalam kategori anak-anak. Di Undang-Undang Perkawinan itu usia kecakapan adalah 18 tahun. Kemudian Undang-Undang Perlindungan Anak itu juga 18 tahun,” imbuh dosen FH UNAIR tersebut.

Pemateri terakhir, Dina Vebiana, menutup sesi webinar hari itu dengan menjelaskan bahaya pernikahan dini berdasarkan aspek psikologi. Mahasiswi Fakultas Psikologi UNAIR itu menegaskan bahwa pernikahan dini merugikan pihak perempuan, sebab pihak perempuan menjadi tidak punya kesempatan untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan di usia tersebut.

Mengutip dari Alfa (2019), Dina menambahkan bahwa dari 33,5% perempuan yang menikah pada usia dini, hanya sekitar 5,6% yang masih melanjutkan pendidikannya. Padahal, sambungnya, pendidikan tinggi penting bagi seorang calon ibu.

“Dalam pernikahan, kita harus memastikan kondisi emosional kita stabil. Seorang anak kecil sekali kemungkinannya untuk mampu secara matang melakukan adaptasi pernikahan seperti yang diharapkan. Masa anak-anak adalah masa transisi yang penuh dengan fluktuasi emosional. Pada hakikatnya, anak dan remaja memiliki tugas untuk mencari jati diri dan bukan untuk membangun hubungan intim dengan orang lain,” tutup Dina.

Penulis : Dewi Yugi Arti

Editor: Nuri Hermawan