Universitas Airlangga Official Website

Pakar UNAIR Sebut Masyarakat Harus Melakukan Bela Negara Sesuai Keahliannya

Joko Susanto di acara Focused Group Discussion (FGD) di Fakultas Hukum UNAIR. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

UNAIR NEWS – Undang-undang nomor 23 tahun 2019 dipermasalahkan beberapa pihak karena dianggap berpotensi melanggar HAM. UU yang mengatur mengenai pemanfaatan sumber daya nasional itu dinilai mengandung beberapa permasalahan substantif. Pakar studi pertahanan dan keamanan UNAIR, Joko Susanto SIP MSC, tidak ketinggalan memberikan pendapatnya.

Duduk perkara UU itu berada pada aturan yang menetapkan bahwa sumber daya nasional, yang meliputi SDM, SDA, dan Sumber Daya Buatan, bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mengatasi konflik non-militer dan konflik hibrida. Aturan itu merujuk pada pembuatan komponen cadangan (komcad) dalam sistem pertahanan negara Republik Indonesia.

Komponen cadangan tersebut, yang berasal dari masyarakat sipil yang dilatih secara militeristik, nantinya bisa dimobilisasi oleh negara dalam konflik non-militer dan hibrida. Hal inilah yang dinilai berpotensi melanggar HAM.

“Kita tidak menolak keberadaan undang-undang kok,” tegas dosen ilmu hubungan internasional ini.

Menurutnya yang penting adalah bagaimana cara supaya kebebasan publik masih bisa terakomodasi dalam Undang-undang ini. Undang-undang yang mengatur mengenai pemanfaatan SDM harus dilengkapi pengaturan-pengaturan yang melindungi hak-hak kebebasan publik.

“Civil Liberty itu kemudian bisa lebih diwadahi di sana,” tuturnya pada gelaran FGD Jum’at (22/4/2022).

Direktur eksekutif Emerging Indonesia Project itu juga menerangkan bahwa undang-undang harus menyeimbangkan kepentingan strategis pertahanan dan kebebasan publik.

“Dalam konteks ini, yang kita lakukan sebagai civil society itu memompa ban gembos karena terlalu condong ke pertimbangan security,” jelas alumnus London School of Economics and Political Science (LSE) ini.

Ia juga menyayangkan mekanisme pembuatan komponen cadangan yang diatur dalam UU ini. Penulis buku Menuju Trajektori Baru: Sebuah Manifesto untuk Studi Hubungan Internasional Indonesia itu  juga berpendapat bahwa apabila yang dihadapi Indonesia adalah tantangan hybrid, maka seharusnya yang dibentuk adalah komponen pendukung pertahanan (komduk), dan bukan komisi cadangan (komcad).

“Jangan sampai bentuk (pemanfaatan SDM)-nya latihan militer. Kalau latihan militer, tidak sesuai dengan bentuk ancamannya. Kalau ancamannya hybrid, harusnya kesiapan kita bukan hanya militer,” ujarnya.

Sebagai proposisi, ia menawarkan bentuk mekanisme pemanfaatan SDM yang dirasa lebih bisa menyeimbangkan kepentingan pertahanan dan kebebasan publik. Mekanisme itu mengharuskan setiap warga negara untuk mengalokasikan sebagian kontribusi dari bidang kerjanya untuk negara.

“Misal anda tertarik ke programmer. Ya kemudian abdikan keahlian programming anda untuk memperkuat, misalkan, ketahanan kita di bidang cyber. Itu bisa dihitung sebagai bela negara. Terus kalau yang jadi dokter, temukan antivirus yang sekarang terjadi. Semua pihak bisa melakukan yang sama,” jelasnya.

Ia juga mengatakan bahwa masyarakat harus memiliki kesempatan yang sama dan bebas menentukan cara mereka dalam bela negara.

“Warga negara itu berhak menentukan bentuk kontribusinya dalam mendukung pertahanan negara sesuai dengan keahliannya,” pungkasnya.

Penulis: Ghulam Phasa Pambayung

Editor: Khefti Al Mawalia