Universitas Airlangga Official Website

Pakar UNAIR Nilai Perilaku Klitih Bukan Gangguan Kepribadian

Ilustrasi Perilaku Klitih. (Sumber: Ilustrasi Iqbal Asaputro via Suara.com)

UNAIR NEWS – Akhir-akhir ini, terjadi peningkatan kasus kriminal di beberapa kota terutama di Yogyakarta. Tindakan melukai orang lain hanya untuk kesenangan atau biasa disebut dengan perilaku klitih meneror warga ketika malam tiba. Masyarakat menjadi takut untuk keluar rumah pada malam hari.

Pakar psikopatologi Universitas Airlangga (UNAIR), Valina Khiarin Nisa SPsi MSc, mengatakan bahwa definisi klitih sebenarnya tidak memiliki konotasi yang negatif. Melalui wawancara dengan UNAIR NEWS pada Kamis (28/4/2022), Valina memaparkan bahwa perilaku klitih saat ini sering dikaitkan dengan kenakalan remaja.

“Secara psikologis sendiri, ini bagian dari kenakalan remaja. Menurut teori Piaget, remaja artinya mereka yang sudah mengetahui sesuatu yang sifatnya abstrak. Artinya mereka sudah mengenal dan boleh mendapatkan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku,” tutur dosen Fakultas Psikologi UNAIR tersebut.

Valina berujar bahwa saat beranjak remaja, seseorang butuh lahan sebagai tempat aktualisasi diri. Para remaja, sambungnya, butuh tempat untuk eksistensi mereka. Namun, lanjutnya, karena minimnya perlindungan, dukungan, dan kewaspadaan dari lingkungan di sekelilingnya, remaja-remaja tersebut bisa terjerumus ke dalam kekerasan atau kenakalan remaja.

Valina juga menambahkan bahwa perilaku klitih belum tentu merupakan gangguan kepribadian. Namun, sambung Valina, kenakalan remaja berpotensi melahirkan gangguan kepribadian.

“Mungkin ada permasalahan psikologis, tetapi tidak ada penyakit mental khusus yang mereka (para pelaku klitih, red) alami. Penegakannya harus dengan profesional. Ketika ada kasus klitih, mereka diproses secara hukum tetapi juga sebaiknya melibatkan psikolog dan psikiater. Dari psikolog dan psikiater ini kita baru bisa mendiagnosa apakah pelaku klitih ini mempunyai gangguan kepribadian atau tidak. Jadi memang sifatnya kasuistik,” ujar Valina.

Motif remaja melakukan aksi klitih tersebut, tambah Valina, sangat bervariasi. Motif itu, sambungnya, dapat berasal dari kebiasaan dan latar belakang pergaulan yang membuat para pelaku klitih menjadi tidak eksis apabila tidak melakukan hal yang sama dengan komunitasnya.

“Ini menjadi warning bagi para orang tua untuk bisa menyediakan ruang bagi remaja untuk berkarya, berkontribusi, dan menemukan komunitas yang tepat agar tidak terbawa arus,” papar Valina.

Valina juga memaparkan bahwa perilaku klitih dapat dideteksi sejak dini. Deteksi dini tersebut, lanjutnya, bisa dilihat dari seberapa sering remaja tersebut tantrum atau marah hingga berani memukul orang. Jika sudah terjadi perilaku demikian, ucap Valina, maka harus dirujuk ke profesional.

Tanda kedua, menurut Valina, yaitu dari lingkungan pertemanannya. Valina menerangkan bahwa deteksi dini perilaku klitih dapat dilihat dari pola komunikasi dan bahasa para remaja.

“Saya rasa jika karang taruna dihidupkan dengan banyak kegiatan positif, remaja jadi terhindarkan untuk melakukan perilaku klitih. Jadi memperbaiki motif remaja ini dengan menyalurkan potensi eksistensialisme mereka dengan cara yang tepat,” jelas Valina.

Sebagai penutup, Valina menegaskan bahwa penanganan para pelaku klitih harus diproses secara hukum agar menimbulkan efek jera. Namun, lanjutnya, khusus untuk pelaku di bawah umur maka harus direhabilitasi. Menurutnya, rehabilitasi tersebut harus melibatkan profesional seperti psikolog, psikiater, dan perwakilan karang taruna. (*)

Penulis: Dewi Yugi Arti

Editor: Nuri Hermawan