UNAIR NEWS – Dalam periode 2022 hingga November 2024, sebanyak 271 kepala daerah akan langsung diangkat oleh Menteri Dalam Negeri, sonder pengadaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Model pengangkatan langsung ini telah dipraktikkan di Indonesia untuk pemerintahan transisi sebelum digelarnya Pilkada serentak di daerah tersebut. Namun, tidak pernah dengan jumlah sebanyak ini.
Tim redaksi menanyakan pada Pakar Hukum Pemilu UNAIR Dr M Syaiful Aris terkait perihal ini pada Minggu sore (22/5/2022). Aris, sapaan karibnya, menjelaskan bahwa tidak diadakannya Pilkada sama sekali dalam periode itu adalah untuk mengimplementasikan Pasal 201 ayat (8) dan (9) UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
“Dalam UU tersebut, Pilkada memang sengaja ditiadakan hingga November 2024. Hal ini agar Pilkada bisa diserentakkan di seluruh wilayah Indonesia di bulan tersebut. Jadi penyerentakkan ini yang menjadikan jumlah pengangkatan Penjabat (PJ) sangat banyak. Nanti pada November 2024, kita akan pertama kali memiliki Pilkada Nasional,” tutur Wakil Dekan II FH UNAIR itu.
Aris menjelaskan bahwa model pengangkatan PJ ini konstitusional dalam UUD NRI 1945. Hal ini tertera dalam Pasal 18 ayat (4), dimana pemilihan kepala daerah harus terlaksana secara demokratis. Menurutnya, pemilihan secara demokratis ini tak harus dimaknai secara langsung, berbeda seperti pemilihan Presiden yang harus dilaksanakan secara langsung menurut Pasal 22E ayat (1).
“Pengangkatan PJ ini esensinya adalah kepemimpinan transisi, karena kinerja pemerintah daerah tidak boleh berhenti. Tapi, pemaknaan frasa ‘demokratis’ itu harus kembali pada esensi kenapa Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Esensinya adalah legitimasi yang kuat, dan adanya legitimasi berarti seharusnya Kepala Daerah tersebut dapat menjalankan pemerintahan yang baik,” kata mantan Direktur LBH Surabaya itu.
Namun, Aris mengatakan bahwa persyaratan PJ Kepala Daerah dalam UU Pilkada sangatlah umum. Dalam Pasal 201 ayat (10), diatur bahwa PJ gubernur haruslah berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Sementara Pasal 201 ayat (11), PJ bupati/walikota haruslah berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Jadi hanya sebatas siapa saja yang dapat menjadi PJ. Aris menambahkan bahwa memang dengan jumlah pengangkatan yang sebanyak itu, ada potensi bahwa hal ini akan dipolitisasi karena besarnya wewenang Pemerintah Pusat.
“Tetapi kembali lagi, kinerja PJ haruslah tetap baik dalam menjalankan proses kepemimpinan transisi. Tugasnya dia adalah untuk mengantarkan hingga kepala daerah definitif terbentuk. Masyarakat harus aktif memonitor kinerja PJ, karena mereka tetap menjalankan jabatan publik,” tutupnya.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan