UNAIR NEWS – SEA+ Research Unit AIKOL bersama FH UNAIR menggelar webinar yang bertajuk “Climate Change: the Impact, Adaptation and Mitigation” pada Senin pagi (23/5/2022). Empat narasumber dihadirkan kala itu, salah satunya adalah Ketua Pusat Studi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) FH UNAIR Dr. Indria Wahyuni. Dalam webinar itu, ia membahas terkait arah kebijakan apa yang harus diambil Indonesia untuk merealisasikan target 23% EBT dalam bauran energi nasional per 2025.
Indria menjelaskan bahwa kini Indonesia masih jauh dari target, karena penggunaan EBT hanyalah 8-10%. Instalasi tipe EBT secara individu seperti tenaga surya atau angin belum ada yang mencapai 10%. Karena itu, Indonesia baru menempati peringkat ketiga dalam penggunaan EBT di Asia Tenggara, tertinggal oleh Vietnam dan Thailand. Padahal, potensi EBT di Indonesia amatlah melimpah.
“Meskipun demikian, Presiden Joko Widodo telah menetapkan target ambisius untuk mencapai netralitas karbon di Indonesia per tahun 2060 atau lebih dahulu. Oleh karena itu, saya memproposisikan tiga strategi dalam meningkatkan penggunaan EBT – transportasi publik yang berkelanjutan, climate culture, dan reformasi hukum,” ujar Pakar Hukum Energi itu.
Di perkotaan, Indria mengatakan bahwa harus segera dibuat cetak biru penataan ruang agar menopang infrastruktur transportasi publik. Mulai dari penggunaan green bus hingga perluasan ruang untuk pejalan kaki dan pesepeda. Tak hanya itu, penggunaan kendaraan pribadi berbasis bahan bakar juga harus dilimitasi, dan mulai dikenakan pajak karbon. Indria menambahkan hal ini relevan seiring dengan rencana pemerintah untuk mengarusutamakan mobil listrik.
“Di semua level pendidikan formal, hendaknya edukasi mengenai krisis iklim dan EBT diintegrasikan dalam kurikulum nasional. Hal ini agar generasi muda semakin memiliki kesadaran terkait bahaya dari krisis, sehingga tergugah untuk melakukan aksi-aksi nyata. Inilah yang dinamakan transformasi menuju climate culture,” papar alumni University of Birmingham itu.
Indria mengatakan bahwa reformasi hukum di sektor EBT juga dibutuhkan. Hal ini dikarenakan bahwa belum ada regulasi komprehensif yang menjamin kemudahan implementasi EBT di tataran Undang-Undang. Terlebih pula, hukum Indonesia di sektor energi masih minim sinkronisasi dengan hukum perlindungan lingkungan dan hukum di sektor lain, seperti hukum pengurangan sampah plastik.
“Yang paling penting adalah, negara harus meningkatkan peran daerah dalam transisi menuju EBT. Hal ini dapat diwujudkan dengan memperkuat kewajiban daerah untuk mengeluarkan Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Ditambah pula, partisipasi publik harus memiliki peran yang kuat dalam upaya transisi energi. Warga lokal harus mengetahui dan memiliki peran aktif, karena transisi energi harus mementingkan aspek keadilan,” tutupnya.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan