UNAIR NEWS – Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) berlabuh di Pulau Sapudi pada Senin 23 Mei 2022. Pada pelayaran tersebut, RSTKA membawa dua tim yang terdiri dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) serta Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UNAIR . Melalui program Airlangga Community Development Hub (ACDH) selama empat hari, mereka mencoba menggali potensi ekonomi di pulau tersebut dan mendengarkan keluh kesah warga.
Saat ini, warga Sapudi mengeluhkan adanya peraturan pelarangan keluar masuknya sapi yang diakibatkan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Sebagai pulau dengan populasi sapi melimpah, Pulau Sapudi menjadi salah satu daerah yang terdampak akibat peraturan tersebut. Ribuan sapi yang dipelihara oleh masyarakat Sapudi tertahan dan tidak dapat keluar pulau.
“Saat ini merupakan momentum yang tepat dalam menjual sapi-sapi keluar daerah, apalagi menjelang Idul Adha. Adanya lockdown sapi sangat berdampak buruk pada perekonomian warga,” jelas Hedirisman, Sekretaris Camat Gayam.
Survei yang dilakukan oleh tim FEB dan FKH pada pasar sapi menunjukkan penurunan penjualan sejak adanya PMK. “Tidak ada sepertiganya ini, mas. Biasanya, tiap hari rabu itu lapangan pasar sapi penuh,” ujar salah seorang penjual.
Tidak hanya itu, mayoritas masyarakat Sapudi sebagai pembuat kerupuk sukun dan kerupuk ikan mengeluhkan produksi yang masih manual serta ketersediaan bahan baku yang musiman. Untuk itu, tim FEB melakukan kegiatan dengan mengenalkan model pemasaran digital untuk memasarkan produk UMKM masyarakat setempat.
“Kerupuk sukun ini masih sangat jarang ada, terutama di Jawa, potensinya sangat besar untuk lebih diperkenalkan di berbagai daerah. Melalui pemasaran digital dan pengembangan produk dengan packaging yang bagus dapat memberikan nilai tambah bagi kerupuk,” papar Dr Irham Zaki, salah satu tim dari FEB pada UNAIR NEWS (27/5).
Selain itu, tim FKH melakukan pelatihan pembuatan bank pakan untuk pakan sapi. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga stok pangan sapi ketika musim kemarau datang serta memberikan sosialisasi PMK.
“Di Sapudi ini termasuk daerah khusus. Tidak ada hewan ruminansia yang masuk dari daerah lain sehingga plasma nutfah sapi terjaga keasliannya, sehingga insyaallah tidak ada sapi sapudi yang terindikasi PMK,” ujar ketua tim FKH, Dr drh Anam Al Arif.
Pada akhir, terdapat dua solusi yang ditawarkan. Pertama, Feasibility Study yang perlu dilakukan untuk membuat Rumah Potong Hewan (RPH). Dengan adanya RPH, masyarakat tidak hanya menjual sapi secara langsung, namun juga dapat memasarkan produk olahannya.
Kedua, terkait dengan UMKM kerupuk, upaya mendirikan koperasi perlu dilakukan. Adanya koperasi akan membantu permodalan, kepemilikan alat giling, perizinan usaha, serta pemasaran. Melalui inkubasi usaha UMKM, diharapkan dapat mengenalkan produk agar memiliki nilai tambah dan jangkauan yang lebih luas.
“Kita harus mampu membuat feasibility study dari hulu ke hilir. Setelah adanya feasibility study tersebut. Kita acari investor dalam pengembangannya, melihat kondisi sosial masyarakat yang ada sepertinya bisa. Kerjasama dengan pesantren Sidogiri mungkin, atau yang lainnya,” ujar salah satu anggota tim FEB, Drs Qudsi Fauzy.
Penulis : Afrizal Naufal Ghani
Editor: Nuri Hermawan