Universitas Airlangga Official Website

Pakar Hukum: 7 Batasan Pelaksanaan Hukuman Mati di MYMA Discussion 2022

Amira Paripurna S H LL M Ph D (bawah), selaku Dosen Hukum Pidana FH UNAIR dan Peneliti Pusat Studi HAM (HRLS) pada gelaran MYMA Discussion 2022 Bertajuk Perspektif HAM : Pidana Mati Predator Seksual, Lazimkah di Indonesia? pada Sabtu (18/6/2022). (Foto : Tangkapan Layar Zoom Meeting)

UNAIR NEWS – Divisi Internal Masyarakat Yuris Muda Airlangga (MYMA) bersama dengan Human Right Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga menggelar acara MYMA Discussion 2022 pada Sabtu (18/6/2022).

Bertajuk Perspektif HAM: Pidana Mati Predator Seksual, Lazimkah di Indonesia? Diskusi itu merupakan tanggapan dari pro dan kontra masyarakat atas putusan hukuman mati yang diberikan oleh Hery Wirawan, orang yang terbukti melakukan tindakan keji dan hina terhadap 13 santriwati.

Menurut Amira Paripurna S H LL M Ph D, dosen Hukum Pidana FH UNAIR dan Peneliti Pusat Studi HAM (HRLS), tepat tidaknya pidana mati yang didapatkan seseorang bergantung pada standar apa yang dipakai. Ia mengungkapkan bahwa persoalan hukuman hukuman mati, baik pembunuh maupun predator seksual, masih menjadi perdebatan hingga saat ini.

“Yang menjadi masalah adalah counter terhadap hukuman mati pada kasus ini dianggap sebagai pembela pelaku. Maka, posisi kita sebagai akademisi, yang make sense seperti apa, yang tidak hanya sekadar mengandalkan aspek emosional saja,” ujarnya.

Standar HAM tentang Hukuman Mati

Batasan mengenai penerapan pidana mati dimuat di konvensi internasional dan hak sipil dan politik, dimana Indonesia termasuk meratifikasi perjanjian tersebut. Secara eksplisit, perjanjian ini tidak mengharamkan penerapan hukuman mati, namun memberikan serangkaian persyaratan ketat untuk negara pihaknya dalam menerapkan hukuman mati.

Berdasarkan ketentuan ICCPR dan UN Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty, pelaksanaan pidana mati membuat beberapa batasan. Terdapat 7 batasan yang memungkinkan pidana mati masih dilaksanakan, diantaranya sebagai berikut :

1. Hanya untuk “kejahatan paling serius”. Hukuman mati hanya berlaku pada “kejahatan paling serius” yang disengaja

2. Hak atas fair trial terpenuhi : hukuman mati tidak dapat dilaksanakan jika hak atas fair trial dilanggar selama proses hukum berjalan

3. Perlindungan hak atas identitas : hukuman mati tidak berlaku bagi “kejahatan” zina. Hubungan seks sejenis (homoseksual), “penodaan” agama, membentuk kelompok oposisi politik, atau penghinaan kepada negara

4. Menggunakan asas retroaktif. Hukuman mati tidak berlaku ketika tindak pidana tersebut belum diterapkan hukuman mati.

5. Terpidana di bawah umur : vonis hukuman mati tidak dapat dilakukan jika usia terpidana berada di bawah 18 tahun

6. Terpidana hamil : vonis hukuman tidak berlaku pada terpidana perempuan yang tengah mengandung

7. Terpidana dengan gangguan jiwa. Penjatuhan hukuman dan eksekusi mati hanya berlaku pada terpidana yang bebas gangguan mental

Serious Crime dan Fair Trial

Pada bahasan selanjutnya, Amira menjelaskan tentang serious crime dan fair trial yang menjadi salah satu istilah di poin batasan pidana mati sebelumnya. Mengacu pada pasal 5 statuta Roma, didasarkan pada empat jenis, yakni genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.

Sementara itu, pengertian dari fair trial adalah prinsip yang harus dipenuhi oleh para penegak hukum, di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan. Prinsip ini tersebar di berbagai aturan baik internasional maupun internasional.

“beberapa prinsipnya adalah asas praduga tak bersalah, peradilan yang bebas dan tidak memihak, hak bebas dari penyiksaan, serta jaminan perlindungan HAM lainnya harus dipenuhi tersangka sampai putusan pengadilan,” Imbuhnya.

Penulis: Affan Fauzan

Editor: Feri Fenoria