Djoko Santoso
Guru Besar Kedokteran UNAIR, Ketua Badan Kesehatan MUI Jatim
Apakah saudara pernah mendengar istilah contrast-induced Nephropathy? Istilah ini cukup langka untuk didengar bagi kita orang awam, namun ini seyogyanya tidak demikian untuk kalangan klinisi atau petugas kesehatan. Agar kita, khususnya juga dokter dan petugas kesehatan, lebih mengenal dan bisa mencegah contrast-induced nephropathy (CIN), maka senantiasa kita perlu tahu terlebih dahulu apa itu CIN atau perlu menyadari kembali tentang bagaimana CIN terjadi.
Contrast-Induced Nephropathy adalah kerusakan jaringan ginjal yang bersifat akut dan disebabkan oleh masuknya media kontras ke dalam tubuh (pembuluh darah). Normalnya pada fungsi ginjal yang normal, kerusakan ini jarang sekali terjadi, namun dalam kondisi fungsi ginjal yang terganggu (oleh karena penyakit ginjal sebelumnya) justru zat kontras ini bisa menambah kerusakan ginjal yang sudah ada. Zat kontras yang diberikan injeksi (intravaskuler) ini, selain berefek toksik dan apoptosis, zat ini akan dapat menghasilkan perubahan hemodinamik akut pada ginjal yang di tandai dengan peningkatan resistensi pembuluh darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Akibatnya bisa diduga bahwa akan terjadi penurunan fungsi ginjal yang signifikan, terutama pada pasien dengan faktor risiko yang sudah ada sebelumnya (misal diabetes, hipertensi, gagal jantung kongestif, dan dehidrasi).
Perlu diketahui CIN adalah penyebab terbesar ketiga gagal ginjal akut di rumah sakit dan berkontribusi pada 12 persen kasus gagal ginjal akut (AKI). AKI sendiri ditandai dengan peningkatan serum kreatinin lebih dari 25 persen atau >0,5 mg/dl dari baseline dalam 48 jam. Penyebab AKI secara garis besar dibagi menjadi penyebab sebelum ginjal (pre-renal), di ginjal (renal), dan sesudah ginjal (post-renal). Penyebab sebelum ginjal tersering adalah kurangnya pasokan cairan ke ginjal seperti dehidrasi, hipotensi, emboli, dan sepsis (infeksi berat). Penyebab setelah ginjal yang paling sering terjadi adalah akibat sumbatan oleh batu atau desakan massa seperti kanker cervix. Sedangkan penyebab di ginjal tersering adalah zat-zat nefrotoxin yang salah satunya adalah zat kontras. Terkadang klinisi dihadapkan pada pilihan yang tidak menyenangkan, harus menggunakan kontras walaupun kondisi ginjal pasien buruk.
Di era yang modern dan serba canggih ini, teknologi kedokteran juga bergerak maju yang bisa dilihat dengan hebatnya tools atau alat untuk “imaging”. Dalam proses penegakan diagnosis dan intervensi kedokteran diperlukan sarana alat yang bisa menggambarkan seperti: aliran pembuluh darah, saluran pencernaan, dan saluran kemih sebelum memutuskan penyakit yang diderita dan tindakan selanjutnya. Sebagai contoh untuk melihat tumor ataupun infeksi pada jaringan otak dan selaput otak diperlukan alat Computed Tomography atau CT-scan. Foto CT-scan yang digunakan bukanlah CT-scan biasa namun memerlukan suatu zat kontras. Zat kontras ini bertujuan untuk memperjelas kualitas gambar dari bagian-bagian yang terlihat samar, seperti pembuluh darah, struktur, atau jaringan lunak tertentu. Biasanya pasien yang akan dilakukan pemeriksaan CT-scan dengan zat kontras, harus dilihat terlebih dahulu fungsi ginjalnya. Jika nilai dari fungsi ginjalnya yaitu kadar urea darah dan serum kreatinin normal, maka baru bisa dilakukan pemeriksaan ini.
Pemanfaatan lain dari zat kontras ini dalam proses penegakan diagnosis adalah angiografi perifer dan pyelografi intravena. Angiografi perifer biasanya digunakan untuk melihat gangguan atau pembuntuan pembuluh darah yang terjadi pada kaki atau tangan. Pyelografi intravena (IVP-Intravena Pyelography) adalah untuk melihat adanya gangguan atau sumbatan pada ginjal dan saluran kemih. Sumbatan tersering yang dapat dilihat adalah batu saluran kemih. Kedua alat medis ini menggunakan sarana X-ray dan memerlukan kontras untuk menggambarkan aliran di pembuluh darah dan saluran kemih.
Tindakan intervensi kedokteran yang paling terkenal dan sering dilakukan adalah percutaneus coronary intervention (PCI). PCI digunakan untuk memasang stent atau kawat penyangga pada penyakit jantung koroner. Dalam kondisi gawat darurat, pengobatan intervensi jantung ini menjadi prioritas dengan relatif mengesampingkan sementara fungsi ginjal pasien. Dalam suatu studi insidensi pasien gagal ginjal karena diabetes ditemukan sebesar 50% menjalani angiografi jantung tanpa menggunakan zat kontras yang ber-osmolaritas rendah dan tanpa hidrasi yang cukup.
Zat kontras sendiri terdapat beberapa jenis yaitu zat kontras yang dimasukkan ke pembuluh darah, dan ke saluran cerna (dimakan atau dimasukkan lewat dubur). Zat kontras yang dimasukkan melalui pembuluh darah berbahan dasar gadolinium untuk pencitraan MRI dan iodin untuk CT-scan. Pemilihan dua bahan ini didasarkan atas sifatnya yang mudah dibersihkan dari tubuh dalam 24 jam melalui urin jika fungsi ginjal pasien normal. Pada pasien dengan gangguan ginjal, dapat terjadi deposisi zat kontras di jaringan kulit, organ dalam lain termasuk otak. Namun sampai saat ini penelitian menyebutkan walaupun pasien yang mengalami gagal ginjal kronis stadium akhir, risiko untuk terjadi komplikasi ini relatif rendah. Sebaliknya hal tersebut justru menjadi semakin fatal untuk organ ginjal yang sebelumnya sudah mengalami gangguan. Sedangkan zat kontras untuk melihat saluran cerna biasanya adalah Iodin terkonsentrasi atau Barium dimana keduanya tidak diserap usus dan dibuang bersama feses sehingga tidak terkait dengan fungsi ginjal.
Untuk menanggulangi kerusakan ginjal yang terlalu parah akibat zat kontras, disamping hidrasi yang memadai serta persiapan professional lainnya, dalam 10 tahun terakhir digunakan media kontras seperti Iopamidol, Iopromide dengan osmolaritas rendah (LOCM) maupun Iodixanol dengan bentuk yang iso-osmolar (IOCM). Kedua nya tersebut bisa mengurangi vasokonstriksi pembuluh darah ginjal. Patut diketahui bahwa zat kontras dapat menginduksi vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah dan kerusakan sel secara langsung. Penyempitan pembuluh darah ginjal ini, terkait dengan adanya aktivasi mekanisme umpan balik tubuloglomerular (TGF) dan modulasi produksi mediator vasoaktif intrarenal seperti prostaglandin, oksida nitrat, endotelin dan adenosin. Respon TGF sendiri bergantung pada jenis osmolalitas dari zat kontras nya sendiri. Pengurangan sintesis vasodilator endogen (oksida nitrat dan prostaglandin) dan peningkatan sintesis vasokonstriktor endogen (Endotelin dan adenosin) akan berefek meningkatkan nefrotoksisitas terkait zat kontras tersebut. Tidak berhenti sampai disini dalam memperjelek fungsi ginjal, zat kontras ini pun juga memberikan kerusakan sruktur secara langsung pada sel ginjalnya. Proses kerusakan nya dikaitkan dengan adanya Vakuolisasi sel-sel tubulus proksimal dan nekrosis hingga apoptosis sel-sel asendens medula ‘loop Henle’ yang di ginjal.
Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa, pada kondisi ginjal yang sehat sebenarnya tidak akan terjadi masalah berarti, karena fungsi ginjal seharusnya memang membuang zat beracun di tubuh. Namun pada kondisi terdapat gangguan ginjal, penggunaan zat kontras menjadi beban berat untuk ginjal kita. Menurut penelitian penggunaan LOCM lebih rendah 0,61 kali dalam menimbulkan kerusakan ginjal dibandingkan dengan zat kontras osmolaritas tinggi.
Untuk itu, setelah disadari bahwa terdapat risiko dalam penggunaan zat kontras di praktik medis sehari-hari, layaknya dokter dan timnya lebih berhati-hati untuk memperhatikan fungsi ginjal sebelum melakukan prosedur diagnostik atau intervensi medik terkait zat kontras tersebut. Sedangkan di pihak pasien dan keluarga akan lebih baik lagi untuk mengetahui risiko penggunaan zat kontras ini dan merawat ginjal nya dengan disiplin mengetrapkan pola hidup sehat, termasuk mencegah diabetes dan hipertensi. Ini semua dimaksudkan agar ketika suatu saat dibutuhkan prosedur diagnosis atau tindakan yang membutuhkan zat kontras ini, ginjal nya mampu untuk membersihkan zat kontras secara sempurna (*)