Saya baru-baru ini besuk cucu saya yang sedang rawat inap kena demam bedarah di sebuah rumah sakit swasta. Saya dicegat oleh petugas keamanan di pintu masuk gedung. Petugas yang masih muda ini (maaf) pakaian seragamnya lusuh dan menggunakan nada tinggi ketika menanyakan tujuan saya kemana. Dia yang masih tetap dengan nada tinggi mengatakan bahwa saya tidak boleh lama besuk. Akhirnya, saya dengan nada tinggi juga menjawab bahwa saya hanya perlu waktu satu detik untuk nengok cucu saya itu, setelah itu saya ‘minggat!’ (pergi). Baru setelahnya, saya dipersilahkan masuk. Tapi tetap, dia menggunakan gestur yang tidak appropriate, tidak senyum, dan tidak melihat wajah saya.
Saya tidak mengkritik pemuda itu karena saya yakin bahwa pihak manajemen rumah sakit kurang atau tidak memberikan pelatihan tentang menerima tamu dengan ramah. Pelatihan keramahan atau hospitality training sangat diperlukan bagi industri jasa seperti rumah sakit. Mengingat, psikologi pengunjung dan pasien di RS itu dipenuhi dengan perasaan sedih, takut, stress, dan lain-lain dalam hubungannya dengan penyakit yang diderita keluarga pasien yang sedang dirawat.
Saya pernah ingat data statistik yang menunjukkan bahwa warga kaya di Sumatra Utara mengeluarkan dana lenih dari Rp 1 trilliun pertahun untuk berobat ke rumah sakit di Singapura dan Malaysia. Hal itu dilakukan mengingat jarak kedua negara dengan Sumatera Utara itu dekat, juga karena pelayanan di RS kedua negara itu sangat prima sehingga pasien dan keluarga dari negara lain seperti Indonesia merasa nyaman berhubungan dengan RS dan para dokternya.
Apakah dokter-dokter di kedua negara itu pintar-pintar dibandingkan dokter di Indonesia? Jawabannya tentu tidak. Karena para tenaga medis di negeri kita ini terkenal ke profesionalismenya. Apalagi kalau berbicara dokter di Malaysia ada banyak yang lulusan fakultas kedokteran di berbagai universitas di Indonesia. Bahkan, ada direktur-direktur RS di Malaysia itu lulusan FK UNAIR.
Malaysia, Singapura, Thailand, dan India dalah negara di kawasan Asia yang serius berlomba mengembangkan industri medical tourism atau health tourism yang berusaha menarik warga kaya dari berbagai negara termasuk Indonesia. Saya melihat laporan khusus TV CNA (Singapura) tentang perkembangan medical tourism di Malaysia. Saya takjub melihat architectural design RS di Malaysia yang ditunjuk untuk mengembangan medical tourism itu. Ada business lounge-nya, ruangan-ruangan di RS itu bak hotel bintang lima di negara-negara maju. Para perempuan muda petugas pelayanannya memakai seragam seperti pramugari Garuda, terlihat cantik, anggun, dan ramah.
Keberhasilan RS di negara-negara yang mengembangkan medical tourism itu karena merela sangat all-out melakukan promosi dan memberikan pelayanan yang prima. Para petugas pelayanan baik yang ada di front desk, sekretaris, perawat, penerima telepon, mendapatkan pelatihan keramahan atau hospitality training. Hal itu agar pasien dan keluarga merasa dihargai, merasa seperti keluarga di lingkungan yang sangat cozy atau nyaman.
Dalam ilmu marketing, ada pembahasan tentang features atau fitur suatu produk yang menjadi pilihan konsumen. Misalnya kalau kita memilih sebuah hotel untuk menginap maka fitur yang kita pilih antara lain harga, lokasi, kenyamanan, pelayanan, makanan, dan fitur lainnya. Hal itu kalau diterapkan di RS, maka fitur yang kita pilih antara lain keramahan petugas dan dokter, kecepatan pelayanan, kenyamanan, dan sebagainya. Banyak terjadi seseorang (yang kaya itu) tidak memperhatikan fitur harga, namun fokus kepada pelayanan yang prima.
Contoh kisah nyata saya dihardik petugas keamanan RS swasta di awal tulisan ini merupakan wake up call bagi industri jasa di negeri kita ini seperti RS, perbankan, perhotelan, termasuk universitas. Karena itu, hospitality training sangat diperlukan agar dicapai kepuasaan konsumen pengguna jasa. Hal itu juga diperlukan agar bisa dihindari hal-hal negatif yang terjadi. Misalkan keterlambatan, penjelasan yang membingungkan, birokrasi yang rumit dan berbelit-belit, dan sebagainya. Tidak kalah penting, faktor keramahan itu akan meningkatkan reputasi lembaga di mata masyarakat.