Universitas Airlangga Official Website

Gubes UNAIR Refleksikan Paradoks dalam Perkembangan Masyarakat Informasi di Era Digital

Foto: Agus Irwanto

UNAIR NEWS – Momen membanggakan baru saja dirasakan Prof Dr Rahma Sugihartati Dra MSi pada Rabu pagi (10/8/2022). Ia diangkat menjadi Guru Besar Sains Informasi Universitas Airlangga (UNAIR) bertempat di Aula Garuda Mukti Kantor Manajemen UNAIR.

Dalam pidato guru besarnya, ia mendiseminasikan penelitian berjudul Paradoks Perkembangan Masyarakat Informasi: Antara Literasi dan Kesenjangan Digital.” Di sini, Prof Rahma memaparkan lanskap kontradiksi dalam masyarakat informasi akibat perkembangan teknologi digital.

Di satu sisi, era digital membolehkan munculnya kultur partisipasi yang lebih produktif, aktif, dan kreatif, sehingga komunitas dan proses demokrasi dapat lebih bersemai. Namun di sisi lain, masyarakat informasi dalam ruang digital acapkali terdehumanisasi.

Dominasi menjadi lebih terkonsolidasi karena teknologi digital juga memperbaharui mekanisme-mekanisme kontrol dan pengawasan pada masyarakat. Prof. Rahma mengatakan bahwa pengembangan ilmu sains informasi dibutuhkan agar teknologi digital tak menjelma jadi sesuatu yang dinamakan juggernaut modernity.

Juggernaut modernity adalah suatu teori dimana terdapat mesin raksasa yang dapat memporak-porandakan berbagai aspek kehidupan manusia karena kegagalan manusia untuk mengendalikan mesin tersebut. Masuknya peran ilmu sains informasi adalah agar paradoks era digital ini dapat diselesaikan dengan pondasi sosial yang kuat dan berdasarkan asas-asas kemanusiaan,” ujar dosen prodi Informasi dan Ilmu Perpustakaan UNAIR itu.

Muncul Paradoks

Prof. Rahma mengatkaan bahwa merasuknya penggunaan teknologi digital dalam kehidupan masyarakat berdampak pada tingkat produksi dan konsumsi informasi betul-betul melejit. Oleh karena itu, aspek paradoksal tersebut hadir di berbagai aspek masyarakat. Aspek pertama adalah sosial-politik.

Prof Rahma menjelaskan bahwa teknologi malah justru mendorong berkembangnya disinformasi, misinformasi, dan ujaran kebencian (hate speech). Tak hanya itu, ia juga menjadi media penyuburan paham-paham intoleran dan radikal yang merusak keserasian sosial.

“Ketika efek ledakan informasi tidak bisa direspons dengan selektif dan kritis, maka yang terjadi masyarakat akan menjadi korban-korban kepentingan kekuasaan yang ideologis. Tak hanya itu, pelbagai bentuk cyberporn dan cybercrime juga makin merajalela. Sementara, edukasi untuk meningkatkan literasi digital dan seleksi informasi juga masih belum menyeluruh,” tutur alumnus UNAIR itu.

Aspek kedua yang dielaborasi Prof Rahma adalah ekonomi. Ia mengatakan bahwa transformasi perekonomian ke jagad digital memunculkan dampak yang ambivalen, karena tidak semua kelompok masyarakat dapat memanfaatkannya. Kelompok masyarakat seperti pelaku UMKM harus berhadapan kekuatan komersial bermodal besar yang melek teknologi, yang seringkali lebih mampu memanfaatkan celah kelebihan ekonomi digital.

“Hal ini menimbulkan fenomena kesenjangan digital dalam akses kebermanfaatan teknologi. Apalagi dengan adanya inovasi teknologi berbasis big data, yang dapat memotret perkembangan informasi di masyarakat yang super cepat, muncul pula kesenjangan baru di sana. Ia dinamakan algorithm’s divide, dimana aktor bermodal besar jauh lebih dapat memahami dan memanipulasi gerak gerik masyarakat sesuai dengan kepentingannya,” paparnya.

Prof Rahma menekankan bahwa lanskap ini hendaknya harus menjadi pekerjaan rumah bersama. Transformasi digital merupakan suatu hal yang tak terhindarkan. Namun hendaknya jangan sampai paradoks ini terperpetuasi, dimana perkembangan teknologi digital menguntungkan kelompok tertentu dan memarginalkan kelompok lain. (*)

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Binti Q. Masruroh