Universitas Airlangga Official Website

BEM FST UNAIR Ajak Mahasiswa Tanggapi Isu Krisis Iklim

Suasana zoom meeting webinar “Game Changer for Climate Change.” (Foto: Dokumentasi Pribadi)

UNAIR NEWS – Pemanasan global kini tidak hanya menjadi wacana, melainkan sudah terjadi secara riil di depan mata. Menanggapi isu tersebut, BEM Fakultas Sains dan Teknologi UNAIR menggelar webinar  bertajuk Game Changer for Climate Change pada Minggu (18/9/2022).

Webinar tersebut turut mengundang Suriadi Darmoko, finance campaigner dari organisasi 350 Indonesia. Perlu diketahui, 350 Indonesia merupakan suatu organisasi yang bergerak di bidang lingkungan dan berkomitmen untuk mendorong transisi menuju energi terbarukan di Indonesia.

Krisis iklim dan Penyebabnya

Pemanasan global terjadi diakibatkan oleh berbagai penyebab, salah satunya efek rumah kaca. Di Indonesia, sumber emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar berasal dari kebakaran hutan dan energi fosil untuk membangkitkan energi listrik.

Kondisi itu menyebabkan tidak stabilnya suhu bumi secara global. Salah satu dampaknya, terjadi gelombang panas yang melanda berbagai negara di belahan dunia.

“Secara global suhu semakin panas, tapi di Indonesia tidak kalah panasnya. Contohnya seperti di Surabaya. Pada tahun atau bulan tertentu, Surabaya mengalami panas tertinggi, misalnya di tahun ini, antara pertengahan Mei Surabaya lagi panas-panasnya,” terang Moko.

Menurut pemaparan Moko, pemanasan global tidak hanya menyebabkan perubahan iklim. Akan tetapi, dampak buruknya adalah terjadinya krisis iklim yang semakin dekat. Kondisi ini, ungkap Moko, dapat ditelisik dari fenomena-fenomena alam yang terjadi di kawasan-kawasan tertentu, seperti pesisir yang kerap kali mengalami banjir rob.

“Sehingga, narasi ‘tenggelam’ ya mungkin terjadi. Meskipun hanya sementara pada periode tertentu, tapi jika dibiarkan dan tanpa mitigasi tertentu, maka hal tersebut bisa terjadi terus-menerus dan bahkan secara permanen,” ujarnya.

Mitigasi Krisis Iklim

Mengatasi krisis iklim memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, upaya ini masih bisa dilakukan dengan kolaborasi dan keseriusan dari berbagai pihak. Indonesia, pada dasarnya telah berkomitmen untuk menurunkan penggunaan emisi hingga tahun 2030 nanti. Akan tetapi, komitmen itu nampak tidak sejalan dengan realita lantaran Indonesia ternyata masih melancarkan pembangunan PLTU batu bara hingga tahun 2050.

Aktif dalam advokasi lingkungan mendampingi masyarakat, Moko memberikan beberapa upaya mitigasi yang perlu dilakukan. Pertama, menurutnya menghentikan bantuan dana bagi proyek batu bara perlu dilakukan sebab dana adalah aspek paling utama. Kedua, mendorong masyarakat untuk terus melakukan perlawanan dan penentangan, meskipun hal ini sama sekali tidak mudah. Terakhir, Moko berpesan bagi para pembuat regulasi untuk tidak memberikan solusi palsu, lantaran hal ini hanya akan mengorbankan generasi selanjutnya di masa depan.

Penulis: Yulia Rohmawati

Editor: Khefti Al Mawalia