UNAIR NEWS – Fakultas Hukum Universitas Airlangga kembali menggelar webinar yang bertajuk “Pendekatan Multidisiplin dalam Penanganan Bencana” pada Minggu sore (11/12/2022). Webinar itu berupaya mengulik berbagai aspek keilmuan ketika berhadapan dengan suatu bencana, baik itu alam maupun non-alam.
Dosen Fakultas Hukum UNAIR Kukuh Leksono S. Aditya SH LLM diundang sebagai narasumber guna menjelaskan perspektif hukum dalam penanganan bencana, khususnya pasca bencana.
Kukuh mengatakan bahwa kebencanaan menurut UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana merupakan suatu peristiwa hukum. Disitu, pemerintah dan masyarakat memiliki peran untuk melakukan pelayanan kemanusiaan pada korban bencana guna terciptanya keadilan. Hal ini dikarenakan bahwa orientasi utama aspek hukum penanganan bencana haruslah pencapaian keadilan.
“Teori keadilan yang menurut saya cocok diadopsi adalah keadilan adalah kesetaraan (justice is fairness) yang dikumandangkan oleh John Rawls. Jadi siapapun berhak mendapatkan pelayanan kemanusiaan dalam bencana, tidak peduli dia kaya atau miskin, ras atau agamanya apa. Semua itu korban,” ujar Pakar Hukum Persaingan Usaha itu.
Terdapat tiga aspek bila berbincang terkait aspek hukum kebencanaan. Pertama, yakni keadilan yang telah dijelaskan sebelumnya, kedua adalah aspek kebijakan. Kukuh mengatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melaksanakan pelayanan kemanusiaan bila ada bencana. Langkah itu harus dipayungi oleh kebijakan guna menghindari penyalahgunaan wewenang.
“Kebijakan preventif dan represif juga diperlukan guna mengatur masyarakat. Misal dalam COVID-19, masyarakat perlu dibatasi mobilitasnya guna mengurangi penyebaran virus melalui kebijakan PSBB dan PPKM. Keperluan kebijakan represif disini adalah apabila ada masyarakat yang melanggar, yakni berupa sanksi. Tidak menutup kemungkinan pula hal tersebut terjadi karena kultur hukum di masyarakat Indonesia cenderung permisif, atau bahasa sehari-harinya nggampangno,” papar alumni Coventry University itu.
Aspek kebijakan yang muncul dari kebencanaan adalah munculnya pemberatan tindak pidana dan force majeur (keadaan kahar). Kukuh mengatakan bahwa pemberatan ini misalnya adalah terkait kasus korupsi bantuan sosial COVID-19, dimana publik merasa keadilan akan tercapai bila pelaku dihukum seberat-beratnya. Hal ini karena dilakukannya saat sedang ada bencana. Sementara untuk force majeur, ia adalah penundaan sementara pelaksanaan kewajiban seseorang. Kukuh mengatakan bahwa pelaksanaannya adalah bahwa korban bencana tidak bisa dipaksa untuk melaksanakan kewajibannya dalam membayar utang.
“Aspek ketiga adalah rehabilitasi, dimana pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar korban bencana. Kebutuhan dasar ini maksudnya adalah sandan, pangan, dan obat-obatan, tetapi seperti properti hilang atau rusak akibat bencana itu bukan bagian dari kewajiban,” tutup Kukuh.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan