Universitas Airlangga Official Website

Ulas Kasus Pembunuhan dan Jual Beli Organ Tubuh Anak, Dosen Psikologi UNAIR Tekankan Pentingnya Tumbuhkan Empati

SS Akun @ppdk.psikologi.unair

UNAIR NEWS – Baru-baru ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kasus pembunuhan anak berusia 11 tahun di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Mirisnya, pelaku pembunuhan adalah dua remaja berusia 17 dan 18 tahun. Kedua pelaku ini mengaku membunuh korban karena tergiur tawaran transaksi jual-beli organ tubuh via internet dengan harga yang fantastis.

Menanggapi hal itu, dosen Departemen Psikologi Universitas Airlangga Dr Primatia Yogi Wulandari SPsi MSi Psikolog mengajak untuk mendalami kasus dari sudut pandang psikologi perkembangan. Dalam siaran live Instagram akun @ppdk.psikologi.unair bertajuk Mengulas Kasus Pembunuhan Anak dan Jual-Beli Organ Tubuh: Tinjauan Pengasuhan dan Perkembangan Empati pada Minggu (15/1/2023), ia memaparkan pentingnya penanaman empati pada anak sebagai self-control perilaku menyimpang seperti kasus di Kota Makassar di atas.

“Kalau dari perspektif empati sendiri, sebenarnya ada empati yang sifatnya kognitif dan afektif,” terang Primatia. Empati kognitif, lanjutnya, berhubungan dengan kemampuan dalam mengetahui perasaan orang lain. Sedangkan empati afektif erat kaitannya dengan guilty feeling, kontrol perasaan bersalah, dan conscience atau hati nurani.

“Tapi kemudian yang menjadi kunci apakah suatu perilaku amoral itu dilakukan apa tidak, itu memang lebih pada empati afektif,” tegasnya. Walaupun demikian, Primatia menekankan pentingnya menyeimbangkan kemampuan kedua jenis empati tersebut.

Dalam menumbuhkan sikap empati pada anak, Primatia beranggapan bahwa keluarga memiliki peran yang paling signifikan. “Kalau saya secara pribadi beranggapan bahwa keluarga itu kunci utama, ya. Karena bagaimanapun anak itu tumbuh dan berkembang basic-nya adalah keluarga,” jelasnya.

Penanaman sikap empati ini pun tidak dapat dilakukan secara instan. Oleh karena itu, orang tua harus secara aktif mengajarkan sikap empati kepada anaknya sejak dini. “Mengajari empati tidak bisa instan. Nggak ada yang instan dalam tumbuh kembang anak,” tekan Primatia.

Penanaman empati memiliki kaitan erat dengan tahap perkembangan sehingga pendekatan yang dilakukan pada anak-anak dan remaja akan berbeda pula. Anak-anak, menurut Primatia, memiliki sikap empati yang bersifat bawaan (nature) sejak ia bayi. Sehingga ini menjadi modal yang cukup besar dalam menumbuhkan sikap empati pada diri anak.

“Cara mengasahnya bisa dengan interaksi di dalam keluarga. Atau, misalnya kita bacain cerita-cerita dongeng yang ada gambarnya,” ujar Primatia. Edukasi melalui bahan bacaan ini juga dapat disertai dengan diskusi terkait sikap empati menggunakan bahasa yang sesuai dengan usia mereka.

Pada anak yang sudah menginjak bangku sekolah dasar (SD), Primatia menganjurkan agar penanaman empati dilakukan melalui dialog orang tua dengan anak. “Saat ada kegiatan bakti sosial, itu bisa kita ajak dialog. Dialog-dialog seperti ini yang menurut saya perlu ditekankan supaya anak itu paham mengapa dia perlu merasakan kondisi orang lain dan lama-lama bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain,” pungkasnya. (*)

Penulis: Agnes Ikandani

Editor: Binti Q. Masruroh