UNAIR NEWS – Diskusi kebangsaan dan kebinekaan antara dosen, mahasiswa, dan siswa SMA di Warung Mbah Cokro Rabu (7/6) berlangsung gayeng. Diskusi yang dipandu oleh Drs. Suko Widodo, M.Si., ini mengundang narasumber dari beragam kalangan untuk berpendapat seputar permasalahan kebangsaan yang kini tengah menjadi isu yang terus bergulir di negeri ini.
Ekspresi keberagaman masyarakat Indonesia bahkan telah ada sejak Indonesia belum merdeka. Sejak peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, masyarakat terutama pemuda, telah lebih dulu mempraktikkan bahwa keberagaman bukan menjadi kendala untuk bangsa bisa bersatu. Itulah yang disampaikan Nuri Hermawan mahasiswa Universitas Airlangga mengawali diskusi malam hari itu.
“Optimisme keindonesiaan sudah jauh lebih terwujud melalui bahasa. Semua suku mengalah dan memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia. Ini adalah wujud betapa sejak sebelum Indonesia merdeka, masyarakat kita adalah masyarakat multikultur yang mengesampingkan masing-masing ego dan memilih bersatu padu melalui bahasa,” ucap mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya ini.
Menanggapi perilaku masyarakat dalam menyikapi keberagaman saat ini, Fadli dosen Universitas Bhayangkara Surabaya menganalogikan masyarakat Indonesia dengan seperti secangkir kopi.
“Kopi, apapun tempatnya, tetaplah kopi. Indonesia seperti itu. Hanya masalah wadah atau tempat. Padahal masyarakat belum mengenal kopinya. Masalahnya adalah, ada dalam ego dan prasangka masing-masing,” ucap Fadli.
Peserta yang berasal dari siswa SMA berbagi pendapat tentang harapan mereka untuk negara Indonesia. Menurut Seno, siswa dari SMAN 5 Surabaya, di era kemajuan teknologi ini banyak generasi muda yang sok keren dengan memasang slogan maupun status yang berbicara perihal pancasila dan kebangsaan. Namun, ketika dihadapkan pada kenyataan langsung di lapangan, mereka tidak mampu mengimplementasikan makna dari slogan-slogan yang mereka gaungkan.
“Sekarang ini anak-anak muda sok slogan dan status. Tapi ketika dihadapkan dengan fakta di lapangan, mereka tidak mampu menghadapi,” ujar Seno.
Santi Isnaini Ketua Program Studi S-2 Media dan Komunikasi UNAIR mengungkapkan, diperlukan pendidikan khusus yang sistematis kepada anak-anak untuk memberikan wawasan kebangsaan. Pendidikan yang diberikan harus relevan dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Sehingga, ketika dihadapkan pada kenyataan di masyarakat, mereka telah memiliki bekal pemahaman bagaimana menyikapi problema keberagaman.
Sejalan dengan Santi, Mochtar dari Universitas Trunojoyo mengatakan, dibutuhkan revitalisasi karakter yang ditanamkan untuk generasi muda di Indonesia. Bentuk revitalisasi itu dengan penanaman pendidikan mulai dari keluarga hingga pendidikan formal.
“Kita ini kalau mau jujur, budaya kita sudah tercampur baur dengan budaya barat, Timur Tengah, dan Arab. Kita kehilangan karakter. Maka perlu revitalisasi. Pendidikan awal adalah dari krluarga, sampai menuju pendidikan formal. Banyak pekerjaan rumah yang harus kita pikirkan, yaitu masalah kebangsaan dan kebhinnekaan,” ungkapnya.
Suko menutup diskusi dengan beberapa statemen. “Mengungkapkan ekspresi cinta terhadap bangsa bukan hanya lewat kata, tapi dengan tindakan. Berbangsa berati harus mengurangi egoisme, tidak memaksakan kehendak dan pendapat,” ungkapnya. (*)
Penulis : Binti Q. Masruroh
Editor : Nuri Hermawan