UNAIR NEWS – Terhitung lebih dari satu bulan ketiga atlet Airlangga Indonesia Denali Expedition (AIDeX) Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pecinta Alam Wanala Universitas Airlangga telah berhasil menyelesaikan pendakiannya di ketinggian 6.194 meter di atas permukaan laut (mdpl) pada bulan Juni lalu. Meski begitu, memori tentang perjalanan masih terpatri erat di benak dan pikiran mereka.
Kedua atlet AIDeX Muhammad Faishal Tamimi (alumnus Fakultas Vokasi) dan Mochammad Roby Yahya (mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan tahun angkatan 2011) berbagi tentang kisah-kisah pendakian. Tentang alam gunung es, aktivitas, dan pesan moral selama pendakian.
“Di San Francisco sudah mulai dingin dan berangin. Suhu di sana berkisar antara 13 sampai 17 derajat Celcius. Ya sudah kita tinggal pakai jaket biar (suhu tubuh) terjaga agar tidak terlalu dingin dan kena angin,” kisah Faishal mengawali ceritanya.
Beranjak dari San Francisco, Amerika Serikat, mereka masih harus menempuh perjalanan panjang menuju desa terakhir sebelum Denali, Talkeetna, Alaska. Tiba di sana, mereka mesti menyelesaikan urusan administrasi dan memulai perjalanan panjang hingga ke puncak.
Selama 21 hari berada di gunung es menyisakan banyak cerita di kepala mereka. Misalnya saja, pada hari kedua pendakian, ketiga atlet termasuk Yasak (alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), mereka benar-benar mempraktikkan teknik evakuasi diri. Pemandunya terjatuh selang beberapa meter sebelum mencapai kamp pertama.
Beruntungnya, berkat teknik moving together dan pengamanan diri yang telah mereka tempa selama latihan sebelum keberangkatan, ketiganya langsung sigap menyelamatkan rekan satu timnya.
“Kita benar-benar sudah waspada. Cuma crevasse (ceruk salju) tertutup salju yang baru. Tiba-tiba, guide-nya jatuh dan hilang gitu saja. Untungnya, ada sistem moving together. Tiap atlet dipasang tali pengaman. Mas Yasak dan saya langsung jadi anchor atau pengaman,” tutur Faishal.
“Kita dibekali sistem vertical rescue pada saat latihan dulu. Kita narik teman yang jatuh dengan sistem zip drive,” timpal Roby.
Oksigen menipis
Ketiga atlet juga harus beraklimatisasi untuk mengondisikan keadaan tubuh dengan ketinggian. Mereka naik hingga mencapai ketinggian tertentu, istirahat sejenak selama beberapa jam kemudian turun lagi ke tempat yang lebih rendah. Keesokannya, mereka kembali melakukan pendakian ke tempat yang lebih tinggi. Begitu terus yang mereka lakukan hingga mencapai kamp terakhir sebelum puncak.
Kondisi cuaca di kamp empat berangin sedangkan laju angin di kamp lima cukup kencang. Sementara, suhunya berkisar antara minus 28 derajat Celcius hingga minus 32 derajat Celcius. Ditambah, tinggi salju mencapai ukuran sepaha orang dewasa. Akibatnya, langkah para atlet sempat terhenti selama beberapa hari.
Namun, dari aspek medan dan kadar oksigen, kamp sebelum puncak menjadi rintangan terberat bagi Roby dan Faishal.
“Soalnya, dingin banget, anginnya juga kencang, dan itu sudah mulai di ketinggian 5.000 mdpl, kadar oksigen sudah mulai menipis. Kita harus ambil nafas yang dalam dulu beberapa kali baru bisa sekali jalan,” terang Roby yang juga mahasiswa Program Studi S-1 Budidaya Perairan.
“Kita kan bawa termometer. Angkanya menunjukkan itu minus 40 derajat Celcius. Itu sudah paling mentok. Kalau dari laporan Taman Nasional Denali mencapai minus 55 derajat Celcius,” timpal Faishal.
Meski rintangan terus ada di depan mata, tim atlet merasa optimis untuk mengibarkan Merah Putih dan UNAIR di tiang tertinggi Langit Utara. Di benak Faishal, tak pernah terbersit sekalipun untuk menyerah. Ia optimis bahwa mereka bisa kembali ke Indonesia dengan selamat.
Begitu pun Roby. Ia merasa rintangan yang ditemui tim AIDeX selama pendakian tak sekalipun menyurutkan niatnya untuk mundur. “Ketika kita berangkat saja udah white out di hari kedua. Itu sejak kita berada di basecamp,” kata Roby.
Terkesan pengalaman
Meski para atlet ini hobi mendaki gunung, mereka menyisihkan waktu untuk melepas lelah. Ketiganya mendirikan tiga tenda untuk memenuhi kebutuhan melepas penat. Dan, tentu saja menghangatkan tubuh. Tempat tidur yang tersusun dari matras berbusa dan matras tidur membuat mereka seolah lupa dengan gigitan dingin Denali yang letaknya tak jauh dari Kutub Utara.
“Apalagi kalau sudah masuk sleeping bag (kantong tidur). Aduh itu anget (hangat) banget,” imbuh Roby.
Urusan kuliner juga tak boleh terlupakan. Para atlet membawa bahan-bahan makanan Indonesia dan Amerika Serikat selama pendakian. Bahan-bahan makanan mereka olah sendiri menjadi masakan-masakan berupa rendang, balado, dan soto. Faishal mengaku, makanan yang mereka olah relatif cepat masak.
Pendakian selama lebih dari tiga minggu di Denali menyisakan kesan tersendiri bagi Faishal dan Roby. Kesadaran para pendaki untuk menjaga kebersihan alam patut diterapkan di Indonesia. Faishal menerangkan, Gunung Denali benar-benar putih dan bersih. Ia tak melihat ada sampah tergeletak selama mendaki gunung tertinggi di Amerika Serikat itu.
Bila Faishal terkesan dengan kebersihan, maka Roby lebih mengagumi ketersediaan tenaga medis dan pasukan keamanan (ranger) di sana. Ia melihat di setiap kamp selalu diisi dengan tenaga medis dan keamanan.
Pendakian dari Denali juga membuat ketiga atlet terkena radang dingin. Roby mengaku, tangannya terasa dingin dan membeku ketika sedang menuju puncak. Namun, ia merasa puncak Denali sudah di depan mata sehingga dirinya merasa urung untuk kembali. Tiba di puncak, ia membuka sarung tangannya dan mendapati dua jarinya menghitam.
Meski sadar akan kejadian tersebut, Roby beranggapan bahwa pendakian puncak Denali sebagai sebuah keberhasilan. Bagaimana tidak, tak semua orang memiliki kesempatan untuk menapakkan kaki di puncak setinggi 6.194 mdpl.
“Saya bersyukur. Tidak semua orang punya kesempatan untuk mencapai puncak Denali,” tutup Roby.
Penulis: Defrina Sukma S
Editor: Nuri Hermawan