Universitas Airlangga Official Website

Tinjauan Kritis dan Evaluasi Surat Edaran SEMA No 2 Tahun 2023 

Kanan, E Joeni Arianto Kurniawan SH MA PH D dan sebelah kiri Gus Aan Anshori (Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi) pada seminar di Pusat Studi Pluralisme Hukum Kampus Dharmawangsa B. (Sumber: Panitia)
Kanan, E Joeni Arianto Kurniawan SH MA PH D dan sebelah kiri Gus Aan Anshori (Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi) pada seminar di Pusat Studi Pluralisme Hukum Kampus Dharmawangsa B. (Sumber: Panitia)

UNAIR NEWS – Perkawinan beda agama telah boleh pada beberapa pengadilan agama di Indonesia beberapa bulan yang lalu. Dengan itu, banyak sekali pro dan kontra akan pelaksanaannya. Hingga turunnya Surat Edaran SEMA No 2 Tahun 2023 oleh Mahkamah Agung (MA) yang berisi Petunjuk Hakim dalam Mengadili Perkara Perkawinan antar-umat berbeda Agama dan Kepercayaan.

Center for Legal Pluralism Studies (CLeP) Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) kembali hadir. Melalui, seminar bertema “Kebebasan Beragama dan Polemik Perkawinan Beda Agama: Evaluasi SEMA No 2 Tahun 2023” pada Senin (22/8/2023) via hybrid. E Joeni Arianto Kurniawan SH MA PH D (Director of CLeP FH UNAIR) menjadi pembicara. Ia menjelaskan, menelaah, dan menanggapi dari keluarnya surat edaran SEMA No 2 Tahun 2023. 

“SEMA ini keluar berdasar pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang mana, Mahkamah Agung berasumsi bahwasannya tidak ada ketentuan agama di Indonesia yang membolehkan perkawinan beda agama. Sedangkan perkawinan di Indonesia hanya sah berdasar dengan hukum agama,” jelasnya. 

Perkawinan Beda Agama

Dengan itu, muncul pula asumsi bahwasannya perkawinan beda agama tidak sah. Joeni juga menambahkan bahwa asumsi seperti ini merupakan asumsi yang kurang tepat secara logika dan yuridis. 

Kembali pada konstruksi yuridis secara konstitusional sebagai fundamental tata hukum di Indonesia yang berpangkal pada UUD 1945. 

Dalam UUD 1945 meletakkan hak untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk suatu keluarga sebagai hak asasi manusia terbukti dengan adanya BAB 10 A. Tepatnya pada Pasal 28 B ayat (1) yang berisi tentang Hak Asasi Manusia. 

Prinsip dari Hak Asasi Manusia lainnya yang termuat pada UUD 1945 adalah hak kebebasan beragama dan hak bebas dari perlakuan diskriminasi atas latar belakang tertentu.

Yang mana dapat tersimpulkan bahwa hak untuk melangsungkan perkawinan merupakan hak asasi manusia yang melekat pada diri semua orang dan bersifat mutlak, absolut, dan berhak. Terlepas dari latar belakang agama yang mereka yakini. Termasuk memiliki pasangan yang berbeda agama.

“Dapat terlihat bahwa dalam UU perkawinan tidak ada satupun ketentuan yang secara eksplisit melarang adanya perkawinan beda agama. Padahal secara hukum ‘larangan’ itu harus tertuang pada sebuah aturan yang eksplisit jika tidak berarti hal tersebut tidak menjadi larangan,” tambahnya. 

Sah dan Tidaknya Perkawinan

Beliau juga menjelaskan, pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f  UU Perkawinan hanya mengatur sah atau tidaknya suatu perkawinan. Termasuk dilarangnya suatu perkawinan yang didasarkan pada hukum agama. Tentu ketentuan tersebut tidak bisa serta merta diartikan bahwa UU Perkawinan melarang adanya perkawinan beda agama.

“Dengan ini, kami Pusat Studi Pluralisme Hukum (Center for Legal Pluralism Studies/ CLeP) menyerukan kepada Mahkamah Agung untuk segera mencabut SEMA No 2 Tahun 2023 demi terciptanya kepastian hukum dan pemenuhan hak perkawinan sebagai hak asasi manusia khususnya bagi pasangan yang berbeda agama,” tutupnya. 

Seminar juga mengeluarkan press release. Masyarakat dapat mengakses informasi press release melalui instagram @clep.fhunair. 

Penulis: Nokya Suripto Putri

Editor: Feri Fenoria