UNAIR NEWS – DENTEAM Pengabdian Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Airlangga (UNAIR) menyelenggarakan Pelatihan Bahasa Isyarat. Kegiatan tersebut terselenggara secara luring pada Sabtu (9/9/2023) di Kampus Dharmahusada-A.
Tsabita Azzahra, selaku Kepala Departemen Pengabdian Masyarakat BEM FKG UNAIR dalam sambutannya menyampaikan tujuan terselenggaranya pelatihan bahasa isyarat. Kegiatan ini, jelasnya, bertujuan memberikan sarana kepada dokter dan teman-teman untuk belajar bahasa isyarat.
“Saya berharap dokter dan teman-teman bisa mengetahui bahasa isyarat dan mungkin bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai second language terutama saat berkomunikasi dengan teman-teman tuli,” ucapnya.
Mengenal Teman Tuli
Hadir dalam kegiatan tersebut narasumber dari Komunitas Arek Tuli Surabaya yaitu Bunga Islami. Bunga yang hadir bersama Nana, selaku juru bahasa isyaratnya mengungkapkan hal-hal yang harus semua ketahui sebelum belajar bahasa isyarat dan berkomunikasi dengan teman-teman tuli.
“Sebelum belajar bahasa isyarat, kalian harus mengetahui dulu persepsi tentang Tuli. Banyak orang yang berpikir bahwa Tuli dan tuna rungu itu sama, padahal sebenarnya berbeda. Untuk karakteristik tuli, kami itu orang yang tidak bisa mendengar, tapi bukan berarti kami tidak bisa berbicara,” paparnya.
Beberapa tuli, sambungnya, ada yang bisa berbicara jelas. Namun, ada beberapa yang kurang jelas, ini bersifat variatif. Sementara itu, untuk cara berkomunikasi sendiri, ia menjelaskan ada beberapa hal yang biasanya dilakukan.
“Pertama, harus dengan saling bertatap mata. Kami tidak bisa berkomunikasi jika tidak bertatap mata. Kami menggunakan gerakan tubuh atau gesture dan melihat gerak bibir secara verbal. Biasanya teman-teman sesama tuli berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat karena hal itu menjadi identitas dari teman-teman tuli sendiri,” jelasnya.
Perbedaan Tuli dengan Tunarungu
Selanjutnya, Bunga menjelaskan terdapat beberapa perbedaan antara Tuli dengan tunarungu. Menurutnya, orang akan berpikir bahwa tunarungu adalah orang dengan pendengaran yang rusak. “Berbeda dengan tuna rungu, pendengaran kami sebenarnya tidak rusak, tidak sakit dan normal-normal saja. Tapi kami tidak bisa mendengar suara, itu saja,” tegasnya.
Untuk penulisan Tuli sendiri, ia mengungkapkan sebaiknya menggunakan huruf T besar. Hal ini dikarenakan T besar mengacu pada subjek. Menurutnya, menggunakan T besar dianggap lebih sopan.
“Dengan menggunakan T besar, secara tidak langsung mengakui Tuli sebagai subjek yang menggunakan bahasa isyarat dan memiliki kemampuan yang sama. Tuli yang menggunakan t kecil lebih kasar karena tidak merujuk pada subjek atau seseorang,” ucapnya
Tak hanya itu, ia juga menceritakan bahwa sebagian besar teman-teman Tuli merasa tidak nyaman saat dipanggil tunarungu. “Ketika menjadi tunarungu, kami dipaksa berbicara secara verbal. Kami juga harus berlatih untuk mendengar dan tidak diperbolehkan menggunakan bahasa isyarat.” tambahnya.
Teman-teman Tuli, sambung Bunga, lebih nyaman menggunakan bahasa isyarat. Oleh sebab itu ia meminta agar teman-teman bisa memanggil mereka dengan sebutan “Tuli” bukan “tunarungu”.
Penulis: Tia Restutika
Editor: Nuri Hermawan