UNAIR NEWS – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Universitas Airlangga menggelar Talkshow Hublu Net Alumni (HNA) pada Sabtu (14/10/2023). Acara itu berlangsung secara luring di RK 13 FKM, Kampus MERR-C.
Acara tersebut mengusung tema “Coexist With Toxic Productivity”. Dalam talkshow itu mengulas tentang toxic positivity dalam dunia kerja, perkuliahan, serta kehidupan sehari-hari bersama psikolog dan alumni FKM.
Pada kesempatan itu, Melissa Yunita S Psi selaku counselor at Dear Astrid Story Sharing Space hadir sebagai pembicara. Permasalahan toxic positivity, jelasnya, sering dipandang sebelah mata oleh seseorang, namun nyatanya, hal itu dapat menjadi penghambat produktivitas.
Toxic Positivity dalam Perkuliahan
Dunia perkuliahan, jelasnya, tidak terlepas dari tugas dan kewajiban bagi mahasiswa. Khususnya, mahasiswa yang sedang menjalankan tugas organisasi atau magang. Tak jarang, mereka tidak dapat membagi waktu.
“Hal itu yang dapat membuatnya menjadi toxic positivity,” ujarnya.
Perasaan negatif, papar Melissa, seperti kecewa dan sedih perlu tersalurkan dengan benar. Melissa mengatakan bahwa nasihat yang baik juga perlu tersampaikan dengan baik.
“Kalau kita lagi sedih, kecewa, lalu temen kita menasehati dengan memaksa untuk selalu berpikir positif dalam segala kondisi, itu toxic positivity,” ujarnya.
Situasi tersebut, lanjutnya, dapat mempengaruhi pikiran diri sendiri maupun orang lain melalui ucapan. “Contoh dari ucapan toksik dalam perkuliahan misalnya “look on the bright side!” dan lain sebagainya. Ucapan itu termasuk dalam kata toxic positivity karena memaksa kita untuk berpikir positif, bahkan ketika kita dalam situasi yang buruk,” imbuh Melissa.
Dampak Buruk Toxic Positivity
Melissa juga menjelaskan bahwa manusia pada umumnya memiliki tujuan hidup. Untuk mencapainya perlu adanya usaha yang gigih. Tak jarang, jelasnya, dalam kenyataannya, usaha yang kita lakukan tidak membuahkan hasil yang memuaskan.
Melissa mengatakan bahwa toxic positivity menimbulkan depresi, kehilangan rasa percaya pada seseorang, merusak keharmonisan hubungan, menurunkan kinerja tim. “Dalam situasi yang lebih parah, dapat membuat seseorang kehilangan motivasi untuk melanjutkan hidup,” jelasnya.
Toxic Positivity dalam Pekerjaan
Melissa juga menuturkan bahwa toxic positivity juga terdapat dalam pekerjaan, terutama hubungan antara sesama karyawan maupun bos. Tak jarang mereka merasa kesehatan mentalnya terganggu akibat dari situasi tersebut.
Contoh toxic positivity, ujarnya, dalam tempat kerja adalah ketika seseorang mendapatkan beban kerja yang tidak ideal. “Jika kita mendapatkan beban kerja yang tidak sesuai kewajiban kita, itu bisa menimbulkan toksik,” imbuh Melissa.
Lebih lanjut, Melissa menegaskan bahwa pentingnya untuk meminimalisir toxic positivity guna menghindari gangguan kesehatan mental. “Cara yang tepat adalah menerima perasaan negatif dan positif secara seimbang, kemudian mencari solusi permasalahan tersebut,” pungkasnya.
Penulis: Christopher Hendrawan
Editor: Nuri Hermawan
Baca Juga: BEM FKM Kenalkan Popular Scientific Article