UNAIR NEWS – Akhir-akhir ini perbincangan mengenai pengungsi muncul kembali ke permukaan. Indonesia, walaupun mengaku tidak meratifikasi konvensi terkait status pengungsi nyatanya pengungsi di Indonesia mencapai jutaan jiwa. Hal ini disampaikan oleh Prof Koesrianti SH LLM PhD, Guru Besar Fakultas Hukum UNAIR dalam colloquium yang terselenggara pada Sabtu (2/12/2023) yang bertajuk “Metode Perbandingan Hukum: Problem dan Prospek”. Pertemuan itu berlangsung di Aula Pancasila, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga.
Hadir dalam acara itu para ahli hukum di Indonesia, seperti Prof Topo Santoso SH MH (Guru Besar Universitas Indonesia) yang membahas restorative justice atau penyelesaian hukum dengan memulihkan pihak-pihak yang terlibat (contohnya pelaku direhabilitasi dan korban diberikan ganti rugi). Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD (Guru Besar Universitas Padjajaran) juga turut menjadi pemateri dengan menjelaskan partisipasi publik dalam pembentukan hukum dengan belajar dari Afrika Selatan.
Pemateri terakhir merupakan dosen Universitas Islam Sultan Agung, Dr H Jawade Hafidz SH MH dengan membawakan topik perbandingan penyelesaian sengketa turunan lembaga negara di Indonesia, Amerika, Jerman, dan Kanada.
“Saat ini jumlah pengungsi seluruh dunia itu ada 100 juta, itu setelah krisis ukraina. Di Indonesia sendiri pengungsi berjumlah 13 juta per 2021. Yang terakhir pengungsi Myanmar di Aceh sebanyak 712 jiwa,” jelas Prof Koesrianti.
Membahas Jenis-Jenis Pengungsi dan Cara Penanganannya
Prof Koesrianti menjelaskan terdapat lima istilah pengelompokan pengungsi, yakni pengungsi (refugees), IDP atau internally displace people, migran baik yang legal maupun ilegal, asylum seeker atau pencari suaka, dan pekerja migran.
“Masing-masing istilah ini punya legal status sendiri-sendiri, mereka bukan semuanya pengungsi yang mempunyai hak-hak sebagai pengungsi,” tambahnya.
Penanganan pengungsi terbagi menjadi tiga cara, yakni reintegration atau penyesuaian/penggabungan pengungsi dengan masyarakat asli negara. Lalu ada repatriasi atau pengembalian ke negara asal.
“Kemudian ada resettlement, itu dikirim ke negara tujuan pengungsi. Mereka mau kemana sih?” tuturnya.
Stigma-Stigma Pengungsi di Negara-Negara ASEAN
Singapura menolak adanya pengungsi di negaranya, Singapura lebih berfokus pada perekonomian mereka. Sedangkan Thailand, menganggap bahwa pengungsi itu adalah kriminal. “Memang banyak sekali seperti itu, banyak juga terjadi di Indonesia,” ungkap Prof Koesrianti.
Malaysia, menganggap pengungsi akan mengakibatkan perpecahan etnis. Sedangkan tiga negara lainnya, seperti Kamboja, Filipina, dan Timor Leste meratifikasi konvensi status pengungsi. Negara-negara peratifikasi tersebut memiliki kewajiban hukum lebih besar atas status pengungsi. “Harus melakukan integrasi antara pengungsi dengan masyarakat mereka, yaitu sistem nasional, politik nasional diberi hak yang sama, kewarganegaraan, hak pendidikan, dan sebagainya,” jelasnya.
Indonesia bukan merupakan negara peratifikasi, sehingga tidak ada kewajiban untuk Indonesia menjalankan isi konvensi. Namun jumlah pengungsi yang mencapai angka 13 juta itu menandakan bahwa dalam praktiknya, Indonesia sama sebenarnya dengan negara peratifikasi. Namun Indonesia tidak mengakui hal itu karena beberapa alasan.
“Satu, alasan tidak meratifikasi karena ketidakjelasan waktu mengungsi. Kedua, Malaysia misalnya kalo meratifikasi berarti memberikan kewajiban yang lebih baik ke pengungsi daripada masyarakatnya sendiri. Karena konvensi mengatur standar mereka (pengungsi),” tungkasnya.
Hal-Hal Lainnya Pada Colloquium
Selain diskusi Ilmiah, colloquium ini juga menghadirkan presentasi artikel yang dibuat oleh peserta dengan enam tema berupa perbandingan hukum pidana, perbandingan hukum perdata dan ekonomi, perbandingan hukum tata negara dan administrasi negara, perbandingan hukum internasional, metode perbandingan hukum, dan perkembangan terkini hukum tata negara, perdata, pidana, dan administrasi.
Juga terdapat kongres ADPHI (Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia) yang membahas pemilihan ketua asosiasi tahun kedua. Terpilih menjadi ketua ADPHI adalah Prof Koesrianti SH LLM PhD selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Penulis: Muhammad Naqsya Riwansia
Editor: Feri Fenoria