Universitas Airlangga Official Website

Debat Cawapres Bahas Crowdfunding untuk Pembangunan Desa, Begini Tanggapan Pakar

Foto pada saat Penanaman Toga di Desa Mungli, Lamongan (sumber: pribadi)
Foto pada saat Penanaman Toga di Desa Mungli, Lamongan (sumber: pribadi)

UNAIR NEWS – Crowdfunding dapat menjadi salah satu solusi yang efektif dalam peningkatan pembangunan desa. Hal tersebut menjadi salah satu bahasan dalam debat cawapres ke-4 mengenai strategi dalam pembangunan desa. 

Pakar Antropologi Universitas Airlangga (UNAIR) Yusuf Ernawan Drs M Hum menjelaskan bahwasanya crowdfunding memang bisa menjadi bantuan alternatif untuk pengembangan desa. Apabila, crowdfunding sudah menjadi penetapan peraturan dan kebijakan pelaksanaannya. 

“Pada dasarnya untuk saat ini, pemerintahan daerah sudah memberikan dana desa yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat desa untuk melakukan pembangunan. Maka dari itu, penerapan sistem crowdfunding tidak diperlukan. Kecuali jika ada persetujuan bersama masyarakat desa untuk menjalankannya,” ujarnya saat ditemua UNAIR NEWS pada Kamis (24/1/2023). 

Crowdfunding merupakan salah satu kegiatan untuk mengumpulkan modal atau pendanaan demokratis guna menjalankan suatu proyek. Dalam pelaksanaannya, beberapa individu dapat memberikan modal sebagai kepemilikan saham pada proyek yang dijalankan itu. 

Yusuf menekankan bahwa penggunaan crowdfunding pada pembangunan desa  belum memiliki peraturan dan kebijakan terkait pelaksanaannya. Takutnya, itu akan menimbulkan permasalahan baru bagi masyarakat desa. 

“Masyarakat desa pada umumnya memiliki sistem patembayan. Jika sudah membicarakan modal yang dimiliki beberapa individu, maka patembayan tidak lagi berlaku. Dan, modal tersebut sudah menjadi satu konsekuensi logis untuk penguasaan,” tambahnya. 

Penguasaan tersebut akan menghidupkan kembali sistem liberal karena ada intervensi modal yang dapat ditanamkan dari orang-orang luar desa. Dengan itu, desa dapat dijajah oleh orang-orang luar desa karena memiliki kuasa akan pendanaan terhadap desa yang diberikan modal.  

“Kasusnya sama pada saat neolik. Siapa yang memiliki uang dapat membeli atau menanam uang pada tempat yang diinginkan. Dan bisa saja dana tersebut bersumber dari elit-elit sukses yang berasal kota. Kemudian penjajahan dapat terjadi,” ungkapnya. 

Maka dari itu, penggunaan program crowdfunding perlu memiliki peraturan dan kebijakan yang terstruktur. Agar, pelaksanaannya tidak menimbulkan permasalahan baru bagi masyarakat desa. 

Seperti halnya program Pemerintahan Kota Surabaya terkait pengoptimalan Bekas Tanah Kas Desa (BTKD) yang berubah menjadi sumber usaha bagi masyarakat desa.

“BTKD itu diberdayakan berdasarkan kesepakatan bersama warga. Jadi, rembukan dulu mau dibentuk menjadi apa. Dan, akhirnya pemanfaatan BTKD bisa membantu perekonomian masyarakat desa di Surabaya,” jelasnya. 

Yusuf menuturkan bahwa terdapat dua cara untuk membuat desa produktif. Pertama, meningkatkan kreativitas masyarakat desa melalui program-program pemerintahan daerah dan institusi pendidikan. Kedua, memanfaatkan dana desa dari pemerintahan daerah melalui BUMDes sebaik mungkin. 

Penulis: Nokya Suripto Putri 

Editor: Feri Fenoria 

Baca juga:

Demonstrasi Kepala dan Perangkat Desa, Pakar Hukum UNAIR Berikan Pendapatnya

Pakar Tradisi Lisan Ungkap Makna Lakon “Sri Mulih” di Bersih Desa Solo Raya