Universitas Airlangga Official Website

HIMAPOL UNAIR Gelar Diskusi Daring Seputar Etika dalam Berpolitik

Elni Nainggolan, S.IP, Alumni Ilmu Politik Tahun 2017 UNAIR dalam Diskusi Daring #PandanganArekIlpol pada Rabu (31/1/2024) (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Kabinet Cakrawangsa, Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMAPOL) UNAIR menggelar Diskusi Daring #PandanganArekIlpol dengan tajuk “Seberapa Penting Etika dalam Berpolitik?”. Diskusi itu membahas seputar definisi, contoh konkret, serta urgensi etika dalam berpolitik. Kegiatan berlangsung pada Rabu (31/1/2024) melalui Zoom Meeting.

Menjelang pesta demokrasi, HIMAPOL menggandeng 3 alumni Ilmu Politik (Ilpol) dalam diskusi interaktif itu untuk membahas seputar etika berpolitik. Di antaranya, M. Bagus Balghi S IP (Ilpol 2014), Iqbal Yanuar R. S IP (Ilpol 2016), dan Elni Nainggolan S IP (Ilpol 2017).

Elni menjelaskan bahwa etika politik bukan hanya suatu terminologi, melainkan suatu bentuk filsafat praktis. Artinya, tidak sesepele melakukan hal yang tidak sesuai norma sosial dan moral, melainkan bisa bertanggung jawab dan mengetahui kewajiban sebagai warga negara dalam menjalani kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks politik. 

“Sesungguhnya, politik menyeruak di seluruh kehidupan sehari-hari sebagai individu serta warga negara. Jadi, tidak dikerdilkan sebatas performa ketika melakukan debat,” jelas Elni.

Politik harus memiliki kaitan dengan etika karena ada segi-segi moral politik yang harus menjadi pegangan kita. Hal itu, jelasnya, menjadi penting salah satunya karena tuntutan akal budi. Maknanya, etika politik mampu membantu kita dalam menentukan akal budi yang paling ideal bagi kita sebagai masyarakat.

“Contohnya, dalam konteks pemilu adalah menjadi preferensi dalam menentukan pilihan. Meskipun begitu, etika politik tidak hanya sekedar untuk melihat mana yang harus dipilih dan bagaimana performa saat debat, tetapi juga di segala sendi-sendi proses politik dan kehidupan kita sebagai individu” terangnya. 

Iqbal menegaskan bahwa dalam ranah politik, kita tidak mungkin bisa menyamaratakan pandangan setiap individu. Akan tetapi, dalam kehidupan berdemokrasi, perbedaan ini lantas jangan publik maknai sebagai antagonisme atau pertarungan yang sifatnya saling menghancurkan dan menganggap orang lain sebagai musuh. 

“Untuk itu, yang harus kita lakukan adalah merubahnya menjadi agonistik,” tegasnya.

Secara realis, agonistik merupakan hubungan seseorang dengan kompetitor lain yang sifatnya saling menghormati. Sebagai contoh, sambung Iqbal, kita tetap bisa berdiskusi dan berdebat dengan orang yang memiliki perbedaan pendapat dengan kita.

“Akan tetapi, diskusi dan debat yang dilakukan dengan yang bersangkutan harus tetap menghormati posisi dia sebagai individu yang merdeka dan berkedudukan setara dengan kedudukan kita,” pungkasnya.

Penulis: Fath Tazkya Ernest Jamila

Editor: Nuri Hermawan