Universitas Airlangga Official Website

Silent Majority, Pakar: Lahir sebagai Antitesis terhadap Kritisisme Masyarakat

Ilustrasi Fenomena Silent Majority. (Foto: mediabanten.com)

UNAIR NEWS – Pakar ilmu politik Universitas Airlangga (UNAIR), Irfa’i Afham, melalui UNAIR NEWS pada Senin (19/2/2024) turut mengomentari isu regresi demokrasi pada Pemilu 2024. Irfa’i mengatakan regresi demokrasi berdampak pada entitas masyarakat sipil, khususnya pada kritisisme masyarakat. Salah satu realitas sosial pada Pemilu 2024 kali ini, ujar Irfa’i, ialah kemunculan fenomena Silent Majority.

“Kita perlu membaca secara kritis apa itu Silent Majority. Pasca Reformasi, kita memiliki harapan peningkatan kualitas civic culture atau peningkatan partisipasi aktif masyarakat sipil secara kritis. Utamanya berkaitan dengan aspirasi, kritik, dan realisasi kepentingan-kepentingan masyarakat sipil dengan proses politik,” tutur pengajar Departemen Ilmu Politik UNAIR itu.

Pemilu, sambungnya, merupakan manifestasi dari praktik demokrasi langsung yang secara normatif menempatkan masyarakat sipil sebagai aktor kunci dalam penentuan calon pemimpin dan wakil rakyat mereka. Akan tetapi, lanjutnya, kesadaran masyarakat sipil di era post-truth menjadi hasil fabrikasi yang rawan dimanipulasi secara artifisial melalui suatu proses yang mutakhir.

“Inilah yang kita saksikan sekarang dalam proses elektoral. Kecanggihan teknik propaganda dan manipulasi informasi membuat kesadaran masyarakat sangat rawan. Terlebih untuk konstruksi dalam rangka memenuhi kepentingan-kepentingan elektoral jangka pendek,” ungkap Irfa’i.

Menurut Irfa’i, fenomena Silent Majority lahir sebagai dampak dari pengesampingan kritisisme dalam proses Pemilu. Persoalan etik pada pencalonan salah satu calon wakil presiden seharusnya membuat masyarakat lebih kritis terhadap mekanisme inkonstitusional yang terjadi. Namun, tentu tidak semua orang punya wisdom yang sama dalam Pemilu.

“Perlu kerangka berpikir kritis untuk memilih dan mengambil sikap dalam Pemilu. Perlu juga keberanian untuk bersuara secara kritis atas problem-problem elektoral yang bisa dijumpai langsung di akar rumput,” tegas Irfa’i.

Lawan dan Kritisi

Terkait dengan perlawanan terhadap konsolidasi elite politik yang melakukan kecurangan, Irfa’i menekankan pada pentingnya pendidikan politik. Selain itu, juga narasi-narasi kritis yang dapat dibangun dari kritisisme masyarakat sipil. Kunci dalam membangun budaya resistensi atas narasi-narasi mainstream yang tidak membawa kepentingan masyarakat sipil, khususnya masyarakat rentan dan marjinal, ialah kritisisme masyarakat.

“Keikutsertaan aktif masyarakat sipil dalam organisasi-organisasi sosial dan politik menjadi sangat fundamental. Budaya politik demokratis aktif akan mengarah pada budaya demokrasi yang sehat, menjauhkan masyarakat dari kondisi Silent Majority yang pasif dan hanya menjadi objek dalam kontestasi politik,” terang Irfa’i.

Irfa’i mengutip pendapat Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1985) yang mengatakan bahwa peran aktif masyarakat sipil melalui kritisisme sangat perlu. Pasalnya, proses demokrasi tidak hanya berakhir pada konsensus melainkan menjadi proses dialektis yang berkesinambungan dan terus membutuhkan berbagai kritik dan keragaman berpikir.

Narasi politik kritis ini, ucap Irfa’i, tidak hanya sebagai tandingan atau pola antagonisme yang destruktif, tetapi sebuah realitas demokrasi yang membutuhkan pertentangan dan keragaman paradigma.

Sebagai penutup, Irfa’i menyampaikan harapannya agar masyarakat sipil dapat mempunyai mekanisme pertahanan atas aspirasi dan kepentingannya, karena kedaulatan sipil bersifat “sine qua non” dalam kaidah demokrasi.

“Saya berharap masyarakat tidak hanya elit lihat sebagai angka-angka dalam Silent Majority dalam Pemilu 2024. Saya harap Pemilu bisa sebagai bagian dari proses yang tidak terpisahkan dari rangkaian besar proses berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia,” pungkasnya. (*)

Penulis : Dewi Yugi ArtiEditor : Nuri Hermawan