UNAIR NEWS – Muncul kasus penganiayaan di salah satu pondok pesantren di Kediri yang berujung pada meninggalnya Bintang Balqis Maulana (14 tahun) pada 24 Februari 2024. Berdasar rekonstruksi kasus oleh polisi, korban mendapatkan perlakuan penganiayaan dari tiga seniornya selama tiga hari di pondok pesantren itu. Menanggapi hal tersebut, Dosen Sosiologi Pendidikan UNAIR Dr Tuti Budirahayu Dra MSi menilai peran dan kontrol orang tua sangat diperlukan untuk mengurangi kekerasan di pesantren.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu menyebut fenomena tersebut merupakan hal yang sangat mungkin terjadi di lingkungan pondok. Mengingat, terdapat norma dan nilai yang berlaku di dalamnya, berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya.
“Ada norma-norma yang disepakati bersama antar-penghuni. Terlebih biasanya di pondok, santri yang lebih senior diberikan wewenang oleh Kyai untuk memberikan hukuman jika terdapat pelanggaran,” ujarnya.
“Tapi, yang menjadi persoalan adalah ketika hukuman tersebut sampai memakan korban, berarti ada sesuatu yang berlebih,” tambahnya.
Dr Tuti pun berpendapat bahwa tindakan kekerasan yang berlebih hingga merenggut korban terjadi karena lemahnya kontrol pihak pengelola pondok. Sehingga memungkinkan terjadinya kekerasan, perundungan, hingga penganiayaan di dalam pondok.
“Jadi, tidak adanya kontrol yang baik dari para pengurus pondok. Terlebih anak-anak juga jauh dari kontrol orang tua,” ungkapnya.
Orang Tua Harus Aktif Mengawasi
Pada banyak kasus di masyarakat, banyak orang tua yang memasukkan anaknya ke pesantren karena menganggap pesantren adalah tempat yang tepat. Citra pesantren yang kerap dianggap mampu membentuk lulusan yang bermoral seolah menjadi harapan bagi para orang tua. Namun, tidak jarang pula orang tua memasrahkan begitu saja ketika anak telah berada di pondok.
Padahal, menurut Dr Tuti, pandangan tersebut bukanlah hal yang tepat. Orang tua tetap harus mengambil peran pada setiap proses pendidikan anak-anaknya. Karena sejatinya, perhatian dari orang tua adalah hal yang dibutuhkan oleh anak.
“Meski mungkin masih ada beberapa pesantren yang membatasi interaksi antara orang tua dan santri, itu bukanlah hal yang manusiawi menurut saya,” ungkapnya.
“Anak tetap butuh sentuhan orang tua, kasih sayang, dan nilai-nilai kebaikan dari orang tua,” tegas Dr Tuti.
Selain itu, meski pesantren banyak mengadopsi nilai-nilai agama dalam proses pendidikannya, namun interaksi di dalamnya tetap ada kemungkinan terjadinya gesekan antar-penghuni. Kontrol orang tua dan pengelola menjadi sangat penting. Karena, pengawasan yang kurang ketat akan memicu adanya gejolak di antara interaksi tersebut.
“Jadi, perlu ada kontrol internal dan eksternal. Selain kasih sayang dan perhatian orang tua, perlu ada kegiatan yang positif yang beragam agar anak tidak bosan. Maka, model pendidikan di pesantren harus ada yang dibenahi,” ujar Dr Tuti.
Penulis: Syifa Rahmadina
Editor: Feri Fenoria
Baca juga:
Sosiolog UNAIR Sebut Fenomena Brain Drain Semakin Mengakar di Kalangan Awardee LPDP
Ramai WNI Pindah Kewarganegaraan, Sosiolog UNAIR: Momentum Pemerintah untuk Berbenah