UNAIR NEWS – Eksistensi bahasa daerah, tampaknya, kian hari semakin terkikis. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengumumkan kepunahan 11 bahasa daerah di Indonesia pada Kamis (7/3/2024). Bukan hanya itu, Kemendikbudristek menyatakan, setidaknya terdapat 19 bahasa daerah dengan kondisi terancam punah.
Pakar Etnolinguistik Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Dra Ni Wayan Sartini MHum turut menanggapi kondisi tersebut. Kepada UNAIR NEWS, ia menyebut kepunahan bahasa daerah menjadi suatu hal yang tidak dapat disanggah. Melihat bagaimana kondisi jumlah penutur bahasa daerah yang kian hari kian menurun.
“Kepunahan bahasa itu memang tidak dapat dimungkiri. Karena, tidak ada lagi penutur yang menggunakannya. Bahkan, ada banyak bahasa daerah yang jumlah penuturnya sangat kecil,” ujarnya.
Faktor dan Dampak Kepunahan Bahasa Daerah
Hadirnya teknologi digadang-gadang menjadi faktor paling umum terhadap lunturnya kebudayaan. Namun, di samping hal tersebut, Prof Wayan menilai minimnya jumlah penutur bahasa daerah menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh.
“Salah satunya disebabkan penuturnya yang sedikit. Kemudian, karena penutur dari satu bahasa beralih ke bahasa lain,” ujarnya.
“Ada juga faktor alam. Misal, karena adanya bencana alam sehingga bahasa itu tidak dapat ditemukan lagi,” tambah Prof Wayan.
Terjadinya kepunahan bahasa daerah, menurut Prof Wayan, dapat memberikan dampak terhadap aspek sosial budaya di masyarakat. Karena, keterkaitan bahasa dan kebudayaan bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya merupakan hal yang saling beriringan dan tidak dapat dipisahkan.
“Menjaga bahasa berarti menjaga budaya. Jadi, jika suatu bahasa itu hilang, berarti kita juga kehilangan budaya, identitas budaya di masyarakat itu hilang,” ungkapnya.
Menurut Prof Wayan, segala sesuatu yang terkadung dalam bahasa mencerminkan budaya di masyarakat. Bahasa daerah memiliki nilai dan norma budaya yang luar biasa. Karena itu, kepedulian dalam mempertahankan eksistensi bahasa daerah perlu mendaptkan perhatian dengan berbagai upaya.
Upaya Preventif
Selaku akademisi dan ahli bahasa, Prof Wayan menjelaskan salah satu upaya menjaga bahasa daerah adalah dengan mendokumentasikannya. Sangat penting untuk mendokumentasi bahasa daerah melalui penutur yang masih tersisa. Sehingga negara tetap memiliki data dari bahasa yang jika kemudian hari tidak lagi memiliki penutur.
“Jadi, sebelum bahasa tersebut benar-benar punah, perlu didokumentasikan sistem kebahasannya. Mulai morfologi, fonologi, sintaksis, dan leksikon bahasa tersebut,” jelasnya.
Pada langkah tersebut, perlu peran pemerintah dalam mendorong penelitian tentang bahasa daerah yang ada di Indonesia. Salah satunya melalui pendanaan penelitian. Menurutnya, banyak keterbatasan peneliti bahasa karena luas dan persebaran wilayah di Indonesia.
Sangat penting bagi pemerintah mendukung penelitian bahasa dengan memberikan bantuan dana. Mengingat bahwa tidak mudah bagi seorang peneliti untuk dapat menjangkau wilayah-wilayah yang berada di pelosok negeri. Sehingga kepunahan 11 bahasa daerah tidak berlanjut.
“Salah satu tindakan konkret, yakni dengan memberikan dana. Karena, hal itu tentu akan berdampak pada penelitian terhadap bahasa. Terutama bahasa di daerah yang terpencil,” ungkapnya.
Selain itu, Prof Wayan mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang dapat membantu proses pelestarian bahasa daerah. Beberapa di antaranya (1) Melakukan pengajaran dan sosialisasi; (2) Mengemas bahasa daerah dengan cara yang lebih modern; (3) Kompetisi dan apresiasi; (4) Mendirikan lembaga khusus pemerhati bahasa daerah penutur kecil; dan (5) Penggunaan bahasa daerah satu hari dalam sepekan di sekolah.
Penulis: Syifa Rahmadina
Editor: Feri Fenoria
Baca juga:
Sidang Pengukuhan Gubes Jadi Pengingat Tugas Seorang Profesor
Infografik : Profil Guru Besar Prof. Dr. Dra. Ni Wayan Sartini, M. Hum