Universitas Airlangga Official Website

Patriotisme & Jejak Kelam Kolonialisme dalam Balutan Horor EXHUMA

Patriotisme & Jejak Kelam Kolonialisme dalam Balutan Horor EXHUMA
Patriotisme & Jejak Kelam Kolonialisme dalam Balutan Horor EXHUMA

Berbeda dengan Indonesia, horor mungkin bukanlah genre yang paling diminati warga Korea Selatan. Sedangkan di sini, kita punya KKN di Desa Penari yang meraup 10 juta penonton beserta lusinan film horor lain dengan penonton 1 juta ke atas. Maka tidak mengagetkan bahwa ketika resensi ini ditulis, film Exhuma asal Korea Selatan telah ditonton 2,3 juta kali di Indonesia.

Film bergenre misteri okultisme ini menampilkan empat tokoh utama yang berasal dari dua generasi berbeda. Kim Go-eun dan Lee Do-hyun berperan sebagai sepasang dukun (shaman) muda dengan tampilan necis nan modern. Selain itu, ada Choi Min-sik sebagai peramal fengshui dan Yoo Hae-jin sebagai petugas pemakaman.

Film ini diawali dengan Kim dan Lee yang terbang ke Los Angeles atas panggilan suatu keluarga kaya raya asal Korsel. Keduanya dimintai pertolongan karena bayi dari keluarga tersebut mengalami kejadian mistis akibat arwah leluhur yang murka. Alhasil, Kim dan Lee bekerja sama dengan Choi dan Yoo untuk melakukan penggalian (exhumation) kuburan demi mengatasi kemarahan arwah leluhur itu. Sebuah keputusan yang akan melepas ‘horor’ yang tak pernah mereka duga.

Jang Jae-hyun yang duduk di kursi sutradara seolah tahu betul akan membawa film ini ke mana. Exhuma adalah tipe horor slow-burn yang menebar kengerian bukan dari jumpscare asal-asalan, melainkan atmosfer intens yang dibangun.

“Tidak ada yang lebih menakutkan daripada keheningan. Banyak film horor yang mengandalkan hits dan skor untuk mencoba menciptakan ketegangan, padahal justru sebaliknya. Ketakutan terbaik datang dari keinginan untuk melihat karakter mengatasi apa yang mereka hadapi dalam adegan tersebut. Jika Anda peduli dengan karakternya, Anda akan peduli dengan ketakutannya.”  -Mike Flanagan (sutradara The Haunting of Hill House)

Sebagai contoh, film ini tidak pernah menampakkan wujud dari arwah leluhur yang menjadi sumber horor utama. Kengerian justru tampil ketika keempat dukun tahu ada ‘sesuatu yang sangat salah akan terjadi’, namun mereka tidak bisa berhenti.

Hal yang sama juga terjadi ketika arwah leluhur tersebut mulai meneror keturunannya satu per satu. Ketegangan demi ketegangan dibangun dengan cara yang kreatif serta melibatkan teki-teki yang menantang adrenalin dan kemampuan berpikir penonton.

Selain itu, Jang juga berhasil memanfaatkan tradisi dan ritual shamanisme Korsel sebagai daya tarik film ini. Kim dan Lee yang tampil sebagai shaman mampu memikat penonton dengan ritual pengusiran setan yang begitu festive, namun juga intens. Sesuatu yang tak akan pernah kalian temukan dalam upacara pengusiran setan di Indonesia. Sehingga alih-alih membuat ngantuk, pendekatan horor slow-burn Exhuma berhasil membuat penonton terpikat dalam misterinya.

Akan tetapi tak ada gading yang tak retak. Salah satu hal yang mungkin sedikit menjadi celah dari film ini adalah teka-teki dan cerita yang begitu padat. Pada setiap babak akan ada misteri yang terkuak dan nantinya bermuara pada konklusi di babak akhir. Penonton yang tidak terbiasa dengan latar cerita berlapis-lapis mungkin akan sedikit kesulitan memahami kode-kode dan dialog cepat dalam film ini.

Selain itu, pada paruh awal Exhuma sebenarnya tampil sebagai film horor yang cukup generik tentang upaya dukun untuk mengatasi gangguan arwah nenek moyang. Akan tetapi, ketika film seolah melandai menuju konklusi, Exhuma justru bertransformasi menjadi cerita yang lebih kompleks daripada sekadar hantu versus manusia.

Seperti halnya Indonesia, Korsel juga merupakan negara bekas jajahan Jepang. Bedanya, jika Indonesia hanya mengecap 3,5 tahun di bawah Kekaisaran Jepang, Korsel mengalami 35 tahun penjajahan oleh negara tetangganya itu. Maka sudah menjadi rahasia umum, jika secara sosio-kultural masyarakat Korsel masih sering dihantui dendam akibat kolonialisme Jepang tersebut. Suatu isu yang berhasil diabadikan dalam babak kedua film ini.

Exhuma melakukan tikungan tajam ketika arwah leluhur mengirim pesan berbunyi ‘rubah melukai punggung harimau’. Menyadarkan para karakter utama bahwa mereka ternyata tidak hanya sekadar menggali makam, akan tetapi juga sejarah kelam pendudukan Jepang di Semenanjung Korea.

Bagi rakyat Korea, mereka sering mengimajinasikan Semenanjung Korea dalam bentuk harimau. ‘Kebetulan’ lokasi perbatasan Korea Selatan dan Korea Utara terletak pada punggung harimau tersebut. Sebagai informasi, Korsel dan Korut terpecah menjadi dua, tepat setelah Jepang kalah dan angkat kaki dari Semenanjung Korea.

(Foto: overseas.mofa.go.kr)

Ketika keempat dukun melakukan penggalian, mereka turut menemukan fakta bahwa biksu jelmaan siluman rubah asal Jepang telah menanamkan pasak besi yang dapat melepas entitas mistis dari sosok tentara Jepang.

Oleh karena itu, film kemudian berubah mengikuti alur perjuangan para dukun tersebut untuk memusnahkan pasak besi yang diyakini menjadi sumber kutukan dan perpecahan di Semenanjung Korea. Di sini penonton juga akan melihat perkembangan para karakter utama. Mereka yang awalnya hanya termotivasi uang dan materi, perlahan memunculkan sisi patriotisme karena kesadaran akan urgensi masalah yang menyangkut masa depan mereka, bahkan masa depan Korea secara keseluruhan.

Pada titik ini, Exhuma seolah berusaha mengabadikan trauma atas kolonialisme melalui personifikasi sosok mistis tentara Jepang. Sisipan isu sejarah serta patriotisme tersebut menjadi pengingat bahwa berbagai medium dapat digunakan sebagai kampanye nasionalisme dan budaya. Sekalipun itu film horor.

Formula horor seperti Exhuma dapat menjadi hal yang dicontoh film-film Indonesia. Mengingat belakangan, film horor nasional terkungkung dalam genre horor religi yang malah sering menimbulkan kontroversi. Padahal, Indonesia memiliki banyak budaya dan sejarah yang bisa menjadi latar cerita.

Karena sekalipun film tidak selalu diekspektasikan untuk membawa pesan moral, namun tidak dapat dinafikan bahwa film dapat menjadi media promosi dan transfer budaya. Bagaimana tidak, setelah menonton film ini banyak warganet yang mendiskusikan tentang sejarah kolonialisme Jepang di Semenanjung Korea. Walaupun memang diskusi sebatas berkutat pada kaitannya dengan teori-teori dalam film itu sendiri. Kemampuan film Exhuma untuk sekadar memantik diskusi di antara penonton sudah cukup menjadi bukti bahwa film ini sukses menjadi media transfer budaya dan nilai nasionalisme yang efektif.

“Seorang patriot menunjukkan patriotisme mereka melalui tindakan mereka, dengan pilihan mereka.” -Jesse Ventura

Terakhir, patriotisme bisa muncul dalam berbagai bentuk dan rupa. Dalam kasus Exhuma, patriotisme hadir ‘sesederhana’ melawan kutukan era kolonial Jepang di tanah Korea. Sebuah premis yang sempat membuat penonton Indonesia bertanya-tanya, apakah Jepang juga melakukan hal serupa ketika dulu menduduki Indonesia.

Penulis: Intang Arifia*

Editor: Feri Fenoria

*) Alumni S1 Ilmu Hubungan Internasional UNAIR

Content Writer di CMKP Law dan Satu Persen Indonesian Life School