Universitas Airlangga Official Website

Film Horor Gambarkan Identitas Agama hingga Budaya, Ini Kata Pakar UNAIR

Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR). Irfan Wahyudi SSos MComm PhD

UNAIR NEWS – Industri film Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai macam pilihan genre film tersedia, seperti komedi, romansa, hingga horor. Berbicara soal film horor ada beberapa judul seperti Siksa Kubur, Siksa Neraka, Makmum, Sewu Dino, Satu Suro, Lampor: Keranda Terbang, dan lainnya.

Beberapa film ini mengisahkan cerita yang erat kaitannya dengan identitas agama hingga budaya Jawa. Hal itu tak luput dari tanggapan pakar pengamat media sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR). Irfan Wahyudi SSos MComm PhD mengatakan bahwa hal ini berkaitan erat dengan kondisi penduduk Indonesia. 

“Penduduk Indonesia sebagian besar bermukim di Jawa. Jadi logis kalau kemudian film horor mengangkat budaya. Ada kaitannya dengan religiusitas yang mana Islam menjadi sangat dekat dengan masyarakat,” katanya.

Menurut Irfan keadaan itu bisa menarik perhatian masyarakat. Sehingga film dapat menggaet masyarakat untuk menonton film tersebut. “Dengan keadaan ini film tersebut bisa mendapatkan penonton dengan pendekatan budaya dan agama,” tuturnya. 

Film horor dengan konsep seperti ini berusaha membangun kedekatan dengan para penonton. Penggunaan identitas agama dan budaya menjadi sarana pemasaran yang menarik. Konsep ini ternyata tidak hanya ada di Indonesia, negara lain juga mengadopsi konsep yang sama. “Amerika Serikat dan negara lain juga membuat film horor dengan pendekatan kultural. Hal ini karena film akan lebih menarik dan dekat dengan penonton,” papar Wakil Dekan III FISIP UNAIR.

Irfan mengakui bahwa konsep film seperti ini menjadi formula yang dapat menarik minat para penonton. Sehingga tak menutup kemungkinan konsep yang sama akan terus berulang nantinya. Meski demikian, film horor tak selalu menyajikan identitas agama dan budaya.

“Tentu logika dalam konsep ini sebagai tujuan komersial, untuk memikat penonton sehingga semakin banyak yang menonton. Jadi bisa terbayang bahwa pada karya selanjutnya menyajikan konsep yang sama,” terangnya.

Lebih lanjut, Irfan mengungkapkan bahwa konsep film dengan identitas agama dapat mengubah pandangan terhadap agama tersebut. Kondisi itu bisa terjadi pada masyarakat dengan literasi yang rendah. “Masyarakat dengan literasi rendah akan mengambil apa adanya dari karya film itu. Nantinya bisa muncul ketakutan untuk melakukan ibadah karena khawatir akan konsekuensi seperti pada film yang ia tonton,” jelasnya.

Irfan berpesan kepada masyarakat untuk bijak dalam memilih tontonan. Ia berharap bahwa masyarakat bisa lebih kritis dalam menonton film. Irfan juga berpesan kepada pada pegiat industri film untuk berhati-hati dalam mengusung sebuah konsep. Jika penonton semakin kritis, maka film yang membawa identitas agama bisa saja tidak mendapat perhatian. “Kecerdasan dan kecermatan penonton dalam memilih tontonan menjadi sangat penting. Produser silakan memproduksi, tapi biarkan penonton memilih tontonannya. Pilihan terhadap tontonan kini lebih luas dan masyarakat harus lebih cerdas memilih,” paparnya. 

Penulis: Icha Nur Imami Puspita

Editor: Khefti Al Mawalia