UNAIR NEWS – BEM FH UNAIR membahas mengenai beberapa isu tentang Kesetaraan Gender khususnya dalam lingkup mahasiswa yang dikemas melalui webinar. Pembicara yang hadir Siti Aminah Tardi selaku Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Dian Novita selaku Koordinator Divisi Perubahan LBH APIK Jakarta, dan Elena Christeen selaku perwakilan Girl Up UNAIR.
Webinar yang diselenggarakan pada Sabtu (18/3/2024) membahas seputar beberapa jenis kejahatan berbasis gender. Tidak hanya membahas kejahatan terhadap gender bagi perempuan, melainkan juga bagi anak. Sekedar informasi, bahwa masih banyak kasus kejahatan terhadap gender di Indonesia yang masih belum ditindaklanjuti.
Beragam Bentuk Kekerasan
Siti Aminah Tardi atau kerap disapa Amik menjelaskan awal mula penggunaan istilah kekerasan berbasis gender terhadap perempuan digunakan dalam The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Terdapat beberapa bentuk kekerasan yang sering terjadi, di antaranya berupa fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi.
“Dalam catatan tahunan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, kekerasan dibagi menjadi beberapa kategori. Di antaranya kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan terhadap istri, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan mantan pacar,” ucapnya.
Amik menyebutkan bahwa terjadinya kekerasan berbasis gender bukan tanpa sebab, biasanya terdapat beberapa faktor yang mendukung. Hubungan kedekatan antara pelaku dengan korban, baik secara personal atau hubungan pekerjaan, menjadikan faktor terjadinya kekerasan berbasis gender.
“Perlu terdapat peran khusus baik dari korban sendiri, keluarga korban, hingga masyarakat sekitar untuk terus peduli terhadap kekerasan berbasis gender. Komnas Perempuan pada tahun 2023 telah mencatat sebanyak 1.994 korban, data tersebut pada fakta lapangannya pasti jauh lebih banyak, karena baik dari korban maupun aparat penegak hukum masih terlalu menyulitkan proses pelaporan,” tuturnya.
Kendala Penanganan
Dian Novita atau yang kerap dipanggil Dinov menyampaikan bahwa terdapat kendala dilapangan dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender. Kendala tersebut muncul dari tidak pahamnya aparat penegak hukum dalam prosedur pembuktian kasus kekerasan berbasis gender.
“Kenyataan di lapangan, aparat penegak hukum tidak membela kepada korban, seakan-akan terjadinya perbuatan tersebut ditimbulkan dari tindakan korban itu sendiri. Pada lain sisi, prosedur hukum di Indonesia cukup rumit, sehingga kebanyakan korban tidak mau melaporkan kejadian yang menimpanya,” ungkapnya.
Berani Bertindak
Elena Christeen atau yang kerap disapa Elena juga berpesan kepada seluruh mahasiswi UNAIR untuk berani bertindak, apabila terjadi kekerasan di area kampus. Melalui Satuan Tugas Pelecehan dan Kekerasan Seksual, diharapkan korban mampu menyampaikan perlakuan yang dialaminya.
“Kita sebagai perempuan, harus berani menyampaikan apabila terdapat kondisi entah pelecehan maupun tindakan kekerasan di area kampus. Untuk menciptakan ruang belajar yang inklusif, maka kita perlu berbicara secara lantang menolak segala bentuk kejahatan berbasis gender di lingkungan kampus,” tuturnya.
Penulis : M. Akmal Syawal
Editor : Khefti Al Mawalia