Universitas Airlangga Official Website

Cikal Bakal UNAIR, dari Sekolah Dokter Djawa Menuju NIAS

Gedung NIAS yang kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Foto: Humas UNAIR)
Gedung NIAS yang kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Foto: Humas UNAIR)

UNAIR NEWS – Berdiri di Timur Jawa Dwipa, Universitas Airlangga (UNAIR) menjadi salah satu kampus tertua di Indonesia. Kampus yang menempati peringkat keempat nasional ini memiliki perjalanan sejarah yang begitu panjang. Kampus ini berdiri dan berkembang di berbagai era, mulai dari era kolonial Belanda, pendudukan Jepang, hingga era kemerdekaan.

Pada pertengahan abad ke-19, di Weltevreden, Batavia, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Sekolah Dokter DJawa atau Dokter Djawa School. Latar belakang berdirinya adalah sebab kurangnya tenaga kesehatan di Hindia Belanda. Padahal, saat itu berbagai wabah bermunculan, salah satunya malaria. Para lulusan Sekolah Dokter Djawa pun kemudian menjadi mantri ‘cacar’. 

Sekolah Dokter Djawa kemudian mengalami reorganisasi. Pada tahun 1902, sekolah kedokteran tersebut berganti nama menjadi School tot Opleiding van inlandsche Artsen (STOVIA). Bagi yang berhasil menamatkan sekolah, mereka akan diberi gelar Inlandsche Arts.

Kemudian, tahun 1913, School tot Opleiding van lnlanchche Artsen berganti nama menjadi School Tot Opleiding van ‘Indische’ Artsen. Kata inlandsche (pribumi) diubah menjadi indische (Hindia). Perubahan tersebut terjadi karena adanya penyempurnaan pendidikan sehingga tidak lagi menghasilkan Dokter Jawa tetapi Indisch Arts karena sekolah ini kemudian dibuka untuk siapa saja, tidak lagi hanya untuk pribumi Jawa.

Di tahun yang sama dengan perubahan nama STOVIA, di Surabaya berdiri NIAS (Nederlands Indische Artsen School) yang terletak di Jl Kedungdoro No 38. NIAS diresmikan tanggal 1 Juli 1913, sedangkan pendidikannya dimulai pada tanggal 15 Juli 1913.

Dibukanya sekolah kedokteran di Surabaya ini dilatarbelakangi oleh masih terbatasnya tenaga kesehatan, sekalipun STOVIA telah menerima lebih banyak pendaftar mahasiswa. Tidak hanya STOVIA, pada tahun 1928, atas usul Dr Lonkhuizen, kepala departemen kesehatan masyarakat di Surabaya, maka didirikanlah School Tot Opleiding van Indische Tandartsen (STOVIT) untuk pendidikan kedokteran gigi.

Saat Jepang menduduki Indonesia, baik STOVIA di Jakarta dan NIAS di Surabaya ditutup. Demikian juga dengan STOVIT. Keduanya dibuka kembali pada 1943, dilebur dan diubah menjadi Ika Daigaku. Sementara itu, STOVIT berganti nama menjadi Ika Daigaku Shika. Namun, tidak lama setelah itu, Indonesia berhasil memerdekakan diri. Saat itu pula, Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi pendidikan dan mengubah Ika Daigaku menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran RI.

Pada Oktober 1945, pihak sekutu datang ke Indonesia dan memasuki kota-kota besar. Kedatangan sekutu itu diikuti oleh pihak Belanda yang kemudian melakukan agresi militer. Kembalinya Belanda dan gejolak yang ditimbulkan berdampak pada sektor pendidikan. Tahun 1946, Ibu Kota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Akibatnya, proses pendidikan Perguruan Tinggi Kedokteran Indonesia juga harus berpindah. Perguruan tinggi ini akhirnya menyebar ke tiga kota, yakni Solo, Klaten, dan Malang.

Di tengah gejolak dan agresi yang terus terjadi, Belanda justru kembali menghidupkan kembali sektor pendidikan. Tepatnya pada Januari 1946, Belanda mendirikan De Nood Universiteit atau universitas darurat yang kemudian diubah menjadi Universiteit van Indonesia pada 1947. Sementara itu, Pemerintah Indonesia di Yogyakarta mendirikan tandingan yakni Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1946.

Di sisi lain, Pemerintah Kolonial Belanda mengembangkan Universiteit van Indonesia ke wilayah pendudukan mereka, yakni Surabaya dan Makassar. Di Surabaya pada tahun 1948, dibuka Faculteit der Geneeskunde (Fakultas Kedokteran) dengan memanfaatkan kembali gedung NIAS yang telah ada sebelumnya dan sekaligus membuka Tandheelkundig Instituut (lembaga Kedokteran Gigi). 

Dengan demikian, pasca Indonesia merdeka, terdapat dua universitas, yakni UGM milik Pemerintah Indonesia, dan Universiteit van Indonesia milik Belanda. Keduanya berada di garis van Mook, garis yang secara politik membelah-belah Indonesia khususnya Jawa menjadi dua wilayah: kekuasaan Republik Indonesia dan kekuasaan Belanda. Garis ini merupakan hasil dari perjanjian Renville yang dirundingkan Januari 1948.

Penulis: Yulia Rohmawati