Frasa “the right side of history” mengacu pada keyakinan bahwa tindakan, ide, atau gerakan tertentu selaras dengan kemajuan, keadilan, atau moralitas, dan akan dipandang baik oleh generasi mendatang yang melihat kembali peristiwa sejarah.
Para pemotres di negara-negara maju yang tidak setuju pada kebijakan negaranya yang selalu membela Israel dalam melakukan genosida di Gaza Palestina mengatakan bahwa kebijakan itu harus dicabut dan kita harus berada pada sisi baik dalam sejarah bangsa. Kalau tidak maka generasi mendatang akan menilai bahwa negaranya melakukan kesalahan dalam sejarah bangsanya.
Saya pikir frasa “on the right side of history” itu tepat saya hubungkan dengan selaturahim antara Rektor UNAIR Prof. Nasih dan Dekan FK UNAIR Prof Bus bersama para civitas akademica UNAIR telah menorehkan tinta yang bagus dalam sejarah almamater kita Universitas Airlangga ini.
Saya mendapatkan info dari sahabat saya mas Dr. dr. Pujo Hartono, Sp.OG(K) kalau ba’da Asyar hari Selasa tanggal 9 Juli 2024 ada pertemuan di Masjid Ulul Azmi kampus C UNAIR yang acaranya soal keputusan bapak Rektor UNAIR untuk mengembalikan lagi status Prof. Budi Santoso sebagai Dekan FK UNAIR. Saya terkejut sekaligus senang dengan berita itu mengingat berita tentang Prof. Bus ini sudah meluas kemana-mana.
Meskipun saya yang masih menggunakan kursi roda karena proses penyembuhan lutut kaki kiri yang dioperasi di RSUA, saya paksakan untuk hadir di acara itu bersama sahabat-sahabat mantan pengurus IKA UA yang lain. Dengan tertatih-tatih menggunakan tongkat jalan dibantu petugas Masjid Ulul Azmi saya berhasil masuk Masjid. Dalam pikiran saya waktu itu saya tidak mempersoalankan siapa yang salah siapa yang benar, yang penting demi UNAIR silaturahim itu harus ada, dan jujur hati saya terharu ketika melihat sudah banyak kstatria Airlangga, beberapa guru besar baik dari FK maupun fakultas lainnya, para pejabat rektorat, para alumni dan mahasiswa. Saya terharu karena melihat begitu semangatnya beliau-beliau itu menghadiri silaturahim sesama ksatria Airlangga demi keutuhan almamater tercinta.
Saya juga terharu karena silaturahim yang bertujuan untuk menyelesaikan persoalan di UNAIR ini dilakukan di Masjid Ulul Azmi, Masjid kebanggaan UNAIR yang digagas pembangunannya bersama para alumni UNAIR antara lain Prof. Hatta Ali sebagai Ketua IKA UA waktu itu, almarhum sahabat saya Drs. Ec. Haryanto Basyuni yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Ketua IKA UA sekaligus sebagai pimpro pembangunan Masjid kampus C UNAIR itu dan banyak alumni lainnya. Saya ingat almarhum Cak Hari Basyuni hampir 24 jam mengawasi pembangunannya. Kami beberapa pengurus IKA UA seringkali diajak Cak Hari melihat proses pembangunan Masjid “from the scratch” atau dari Nol, masih berupa tanah yang dipenuhi berbagai macam bahan bangunan. Berkat Cak Hari inilah Masjid Ulul Azami itu bisa diselesaikan dalam kurun waktu 17 bulan dengan menelan biaya kurang dari Rp 25 milyar yang sebagian besar adalah sumbangan dari para Ksatria Airlanga dari berbagai angkatan.
Di Masjid gagasan alumni UNAIR ini lah pertemuan antara Prof. Nasih dan Prof. Bus disaksikan banyak guru besar, dekan, pejabat rektorat, alumni dan mahasiswa – berrlangsung dengan khidmat dan mengharukan.
Kita-kita para alumni dan segenap civtas akademika UNAIR yang selalu menangis ketika mendengar lagu Hymne Airlangga berharap agar persoalan di UNAIR harus segera diselesaikan agar tidak berkepanjangan dan ujung-ujungnya menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat tentang Almamater yang sama-sama kita cintai ini.
Semua di antara kita memang mengharapkan agar “we are on the right side of history” sejarah yang berisi tentang wisdom, kearifan, persaudaraan yang dalam sejarah UNAIR nantinya akan dikenang oleh generasi kedepannya sebagai sejarah yang gemilang.