UNAIR NEWS – Menilik kehidupan Tika mahasiswi Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Airlangga (UNAIR) peraih beasiswa Kagoshima University. Ia telah menjalani kehidupan selama beberapa bulan di kota kecil Kagoshima. Tika berkesempatan menempuh pendidikan di sebuah kota dengan julukan “Naples of the East” karena kemiripan iklimnya dengan Naples di Italia.
Naples of the East Kagoshima
Kagoshima adalah prefektur di selatan Jepang yang berada di ujung pulau Kyushu. Kota dengan makanan khasnya Kurobuta atau babi hitam ini juga identik dengan gunung Sakurajima yang indah dan iklim yang sangat baik. Kagoshima yang relatif sepi ini, masih mengandalkan trem sebagai transportasi umum.
“Di sini cukup sepi, masyarakatnya masih didominasi penduduk asli Kagoshima. Supermarket dan area perbelanjaan rata-rata tutup sekitar pukul 8 malam. Orang asing yang datang ke sini hanya sedikit. Namun, mayoritas yang datang ke Kagoshima adalah warga negara China atau Korea,” ungkap Tika.
Harta Karun
Lokasi Kagoshima University terbagi di tiga tempat, mirip dengan UNAIR. Ada kampus Sakuragaoka (kedokteran), Korimoto (saintek dan humaniora), serta Shimoarata (perikanan). Tika sangat kagum akan fasilitas yang ada di Universitas Kagoshima, termasuk aula besar untuk belajar dan gedung khusus untuk UKM serta fasilitas publik yang lengkap.
“Di sini, public facilities-nya lengkap banget. Bahkan, ada satu gedung khusus untuk belajar selain perpustakaan. Di sini ada tiga kantin dan uniknya ada kantin yang menyediakan sekat khusus mahasiswa yang ingin makan sendiri,” tuturnya
Selama di Kagoshima University, Tika mendapat pengalaman belajar yang luar biasa dan unik. Selain bahasa, Tika mempelajari kehidupan orang asing dan isu-isu sosial, seperti demografi dan Islamophobia di Jepang. Dirinya juga aktif dalam debat mengenai isu-isu penting di Jepang seperti penurunan minat pemilu di mata kuliah Logical Speaking.
“Ternyata mahasiswa Jepang rata-rata cukup pasif. Kalau ada yang ramai berarti itu mahasiswa asing. Kita diharuskan untuk tepat waktu karena terlambat tiga kali dianggap satu kali absen bolos. Untuk penilaian, rata-rata 90 kalau mau dapat nilai A,” tutur Tika.
Kehidupan
Sebagai mahasiswa asing, Tika ternyata mampu beradaptasi hingga semangat menjelajahi banyak hal di sekitarnya. Ketika kali pertama tiba di Tokyo, Tika mengalami sedikit culture shock karena semua tulisan menggunakan huruf Kanji. Namun, dengan nasihat dari orang tua dan teman-temannya yang sudah berada di Nagoya, Tika berhasil menyesuaikan diri.
Tika bercerita bahwa ia mendapatkan banyak pengalaman menyenangkan ketika mengikuti Cultural Exchange. Bersama teman-temannya yang berasal dari Amerika, Korea, maupun Jepang, Tika berbagi pengalaman dan pengetahuannya tentang bahasa, dan budaya sosial Indonesia. Menurutnya, teman-temannya sangat antusias mengenal tentang Indonesia, terutama temannya yang berasal dari Amerika.
Tika memiliki jadwal kuliah pada Selasa hingga Jumat, mulai pukul 10.30 hingga 18.00 Waktu Jepang. Weekend-nya diisi dengan kegiatan menyenangkan berkumpul bersama komunitas atau teman-teman. Hari Senin, Tika sering mengosongkan waktunya untuk menghadiri satu mata kuliah di UNAIR atau berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Tak jarang pada hari Senin, Selasa, dan Sabtu, dirinya mengisi kegiatan keseharian dengan Baito atau kerja paruh waktu. Tika mengaku bahwa ia bekerja di salah satu toko cheesecake di AMU Plaza Kagoshima. Menurutnya, ini merupakan pengalaman luar biasa yang mampu ia terjang ketika berada di Negeri Sakura.
“Pada hari sabtu, aku isi kegiatan dengan bermain Angklung bersama komunitas Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Tak hanya itu, kegiatan ini juga dipelopori oleh beberapa orang Jepang yang pernah tinggal cukup lama di Indonesia. Selain itu, setelah kegiatan PPI aku bisa Baito atau kerja paruh waktu. sedangkan Minggu, aku selalu ada ajakan buat keluar main sama teman-teman,” ungkapnya.
Penulis: Marshafyennda Scarbella
Editor: Edwin Fatahuddin
Baca Juga: UNAIR Buka Pendaftaran Kedokteran di Banyuwangi, Kuota 50 MABA