Saya menulis artikel ini tentu sangat subjective karena saya bukanlah “medical doctor by training”, namun saya memiliki banyak sahabat yang berprofesi dokter dan guru besar dari Fakultas Kedokteran (FK) dan Kedokteran Gigi (FKG), serta saya memiliki pengalaman bekerja di bank-bank internasional dan lembaga misi diplomatik internasional maka saya beranikan diri untuk menulis soal ramainya berita perundungan di kalangan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Selain itu, saya sebagai Ketua dan Anggota Komite Audit Majelis Wali Amanat Universitas Airlangga (UNAIR) melihat persoalan ini dari perspektif risk management atau risiko manajemen.
Ketika saya masuk Fakultas Ekonomi UNAIR tahun 1973, saya sering mendapat kabar dari para senior dan sahabat saya dari Fakultas Kedokteran UNAIR bagaimana disiplinnya pendidikan dokter itu. Ada yang menceritakan bagaimana seorang guru besar senior yaitu almarhum Prof Asmino yang mendidik kedisiplinan sangat ketat kepada para dokter muda bahkan para dokter senior. Alkisah Prof Asmino ini bahkan mengejar dokter-dokter yang rambutnya gondrong untuk dimarahi. Bagi beliau seorang dokter itu penampilannya harus rapi. Tapi hasilnya memang kelihatan, yaitu soal tangguhnya para dokter hasil didikan Prof Asmino itu.
Saya waktu bekerja di Bank Jepang baik di Australia maupun Jakarta dan di Tokyo dan Hiroshima, mengalami suasana disiplin yang ketat dan dituntut memiliki stamina dan sikap kepatuhan yang tinggi terhadap aturan kedisiplinan. Rata-rata saya pulang dari kerja malam hari sekitar jam 22.00 ke atas, akibat begitu tingginya volume kerja. Saya mengalami hal yang sama di kantor perwakilan diplomatik negara sahabat. Waktu saya kuliah di Inggris pun, saya menyaksikan sendiri bagaimana para mahasiswa yang hidup di perpustakaan hampir seharian untuk belajar dan mencari referensi untuk pembuatan makalah ilmiah.
Saya berfikir – Ya memang begitulah kondsisi bekerja di lembaga-lembaga bisnis maupun pendidikan di negara-negara maju; diperlukan ketangguhan dan disiplin (termasuk kalau ingin menjadi dokter). Karena itu saya tidak boleh mengeluh.
Lalu saya kaget membaca berita tentang kematian dokter Aulia Risma Lestari mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro Semarang yang masih memicu perdebatan apakah meninggal dikarenakan beban kerja atau perundungan. Soal beban kerja yang berat, ada testimoni dari para mahasiswa PPDS itu yang bekerja seharian, harus selalu “alert” dalam melayani pasien, ditambah dengan waktu yang tersita untuk membuat makalah ilmiah. Testimoni soal perundungan di berbagai media misalnya BBC News Indonesia juga pernah menulis pengalaman para calon dokter spesialis yang dirundung oleh seniornya dengan meminta hal-hal di luar urusan pendidikan. Seperti mengumpulkan uang belasan juta untuk “mentraktir seluruh senior”, membelikan makanan, tiket pesawat, hingga timbangan kopi.
Saya jujur mengatakan “I do not buy such narratives” atau saya tidak setuju dengan pernyataan itu, benarkah seperti itu. Misalkan ada seorang senior minta tolong juniornya di PPDS untuk membelikan makanan; apakah itu dianggap sebagai aktivitas untuk mempererat kekeluargaan, atau dianggap sebagai perundungan. Tentu hal ini bukan soal sikap permisiv, sebab apabila ada senior dokter yang kelewatan memperlakukan juniornya saya setuju untuk ditindak.
Perlu ada kejelasan juga apakah testimoni “keluhan” adanya perundungan terhadap mahasiswa PPDS itu merupakan generalisasi dari sebuah “isolated incident” atau memang benar-benar adanya.
Saya mencari second opinion ke sahabat-sahabat FK dan FKG UNAIR, mereka mengatakan tidak ada para dokter senior yang memerintahkan seperti itu. Namun soal kerja keras, ya memang begitu tugas seorang dokter itu. Malahan sahabat saya itu bercerita sering tidak pulang ke rumah dan tidur di rumah sakit karena begitu tingginya volume pekerjaannya. Ya begitulah tugas seorang dokter itu – seperti halnya saya bekerja di bank asing tadi. Salah satu sahabat dari FK UNAIR bahkan mengirim info lewat WhatsApp pengakuan seseorang yang adiknya mahasiswa PPDS Anestesi UNAIR malahan memiliki pengalaman yang baik dalam berhubungan dengan para seniornya yang memanusiakan para juniornya alias tidak mengalami perundungan.
Saya juga jujur tidak setuju kalau dikatakan generasi muda saat ini “fighting spirit-nya” rendah, karena buktinya makin banyak generasi muda yang “tough” atau tangguh dalam menempuh kehidupannya. Mereka pintar dan cerdas memahami persoalan yang ada. Sehingga saya bertanya, apakah para dokter mahasiswa PPDS dari generasi muda itu yang mengeluh beban kerja dan dirundung seniornya itu benar-benar memiliki “kemampuan yang kurang” atau “terpaksa” kuliah di FK, karena ada yang mengatakan ingin keluar dari PPDS disebabkan sudah “tidak kuat” menempuh pendidikan yang ketat dan memerlukan kedisiplinan.
Saya sebagai ketua dan anggota Komite Audit UNAIR tentu senang mendengar testimoni kalau hubungan junior dan senior di PPDS Anastesi UNAIR baik-baik saja, namun memberikan masukan kepada seluruh jajaran civitas academica UNAIR bahwa dalam perspektif Risk Management hal-hal yang negative soal yang ramai dibicarakan ini (termasuk soal dosen pembimbing yang sulit dicari mahasiswanya) haruslah menjadi input penting untuk menjadi bahan pembuatan kebijakan yang strategis, dan harus dihindari atau dicegah kejadian seperti itu; sebab kalau tidak akan meledak dikemudian hari.
Soal sulitnya studi di Fakultas Kedokteran juga menjadi bahan edukasi kepada masyarakat terutama orang tua murid agar tidak memaksakan putra-putrinya masuk ke Fakultas Kedokteran kalau tidak memiliki passion. Berilah kebebasan kepada mereka untuk memilih bidang studi yang memang mereka senangi.