UNAIR NEWS – Mahasiswi Universitas Airlangga (UNAIR) kembali mengharumkan nama almamater di kancah internasional. Kali ini, Rafida Mumtaz, mahasiswi program Magister Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNAIR, berkesempatan menjadi presenter dalam International Forum of Spice Route (IFSR) pada 23-26 September 2024. Dalam forum yang berlangsung hybrid itu, ia memaparkan hasil penelitian terkait linguistik penamaan rempah dalam tradisi masyarakat Indonesia.
Konferensi ini merupakan gelaran rutin tahunan inisiasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Negeri Rempah Foundation. Gelaran itu bertujuan untuk mendukung upaya Indonesia dalam memperoleh pengakuan UNESCO terkait jalur rempah sebagai warisan budaya dunia. Melalui forum ini, peneliti dan akademisi dari berbagai negara turut serta dalam memberikan bukti ilmiah yang memperkuat klaim sejarah jalur rempah Indonesia sebagai warisan budaya dunia
Teliti Budaya Penamaan Rempah
Rafida menceritakan awal mula ketertarikannya dengan isu jalur rempah. Ketertarikannya itu bermula ketika ia mendapatkan Beasiswa Pendidikan Indonesia dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk melanjutkan studi S2.
“Saya awalnya tidak memiliki perhatian khusus terhadap penelitian jalur rempah. Ketertarikan ini baru muncul ketika saya menjadi awardee beasiswa BPI. Di mana salah satu fokus Direktorat Jenderal Kebudayaan RI adalah bagaimana caranya agar jalur rempah Indonesia bisa mendapatkan pengakuan dari UNESCO,” jelasnya.

Dalam konferensi tersebut, Rafida memaparkan bagaimana penamaan minuman tradisional jamu mencerminkan nilai dan falsafah hidup masyarakat Jawa. “Nama-nama jamu ternyata banyak yang menggunakan metafora. Hal itu menunjukkan daya nalar kreatif masyarakat Jawa. Salah satu contohnya adalah nama godhong salam, yang menggambarkan wangi masakan seolah memberikan salam bagi yang akan makan,” ungkapnya.
Momen Berkesan
Rafida menuturkan bahwa momen yang paling berkesan baginya selama berpartisipasi dalam konferensi tersebut adalah ketika ia mempresentasikan penelitian dari perspektif linguistik. Di tengah dominasi panelis dari disiplin ilmu sejarah, arkeologi, dan antropologi.
Meskipun berbeda ranah ilmu, ia berhasil menunjukkan bahwa jalur rempah tak hanya dapat diteliti dari perspektif sejarah dan arkeologi. Akan tetapi, juga dari sudut pandang linguistik. “Menurut saya, hal yang paling memorable yaitu ketika saya menjadi satu-satunya panelis dari jurusan linguistik. Oleh karena itu, saya harus meyakinkan panelis lainnya bahwa penelitian saya tentang jalur rempah dari perspektif linguistik juga memiliki nilai ilmiah yang sama pentingnya,” ujarnya.
Melalui partisipasinya dalam forum ini, Rafida memperoleh pembelajaran penting bahwa perbedaan bidang ilmu bukanlah penghalang untuk berkolaborasi. “Ilmu pengetahuan itu bersifat kolaboratif dan interdisipliner. Meskipun bidang keilmuan kita berbeda, kita tetap bisa berkolaborasi dengan pendekatan tertentu. Jadi, jangan takut untuk mencoba, meskipun kelihatannya jauh dari keahlian kita. Ketika kita sudah mendalami atau terlibat di dalamnya, akan ada banyak kesamaan yang bisa ditemukan,” pungkasnya.
Penulis: Raissyah Fatika
Editor: Yulia Rohmawati