Universitas Airlangga Official Website

Mahasiswa UNAIR Ikuti Konferensi Internasional di Korea Selatan

Rafida Mumtaz, mahasiswi Magister Linguistik FIB UNAIR dalam The Korean Conference on Arts & Humanities (KCAH) 2024 (Foto: Dok. Narasumber)
Rafida Mumtaz, mahasiswi Magister Linguistik FIB UNAIR dalam The Korean Conference on Arts & Humanities (KCAH) 2024 (Foto: Dok. Narasumber)

UNAIR NEWS – Mahasiswi Universitas Airlangga (UNAIR) kembali menorehkan prestasi di kancah internasional. Rafida Mumtaz, mahasiswi program Magister Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNAIR terpilih menjadi salah satu delegasi dalam konferensi internasional. Konferensi bertajuk The Korean Conference on Arts & Humanities (KCAH) yang terselenggara di Incheon, Korea Selatan. Gelaran itu berlangsung pada Senin (28/10/2024) hingga Jumat (1/11/2024).

Konferensi rutin tahunan itu merupakan inisiasi The International Academic Forum (IAFOR) yang kali ini bekerja sama University of Utah Asia Campus. Forum bergengsi tersebut mewadahi akademisi hingga peneliti dari berbagai negara untuk berkolaborasi dalam hal pendidikan, seni, dan humaniora.

Delegasi Termuda

Dalam konferensi tersebut, Rafida berhadapan dengan lebih dari 300 delegasi dari 55 negara. Termasuk para akademisi dan peneliti senior dari berbagai penjuru dunia. Meski menjadi salah satu delegasi termuda, ia sukses mempresentasikan penelitiannya yang berjudul Apology Responses of Javanese and Sundanese Speakers: Gender and Cultural Perspectives.

Rafida Mumtaz, mahasiswi Magister Linguistik FIB UNAIR saat mempresentasikan karyanya dalam The Korean Conference on Arts & Humanities (KCAH) 2024. (Foto: Dok. Narasumber)
Rafida Mumtaz, mahasiswi Magister Linguistik FIB UNAIR saat mempresentasikan karyanya dalam The Korean Conference on Arts & Humanities (KCAH) 2024. (Foto: Dok. Narasumber)

Rafida menjelaskan bahwa studinya bertujuan untuk membandingkan cara penutur bahasa Jawa dan Sunda dalam menanggapi permintaan maaf dalam berbagai situasi. Ia menambahkan bahwa penelitiannya juga membahas terkait perbandingan cara komunikasi antara kedua gender dalam menanggapi permintaan maaf.

“Dari total 60 penutur, hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut cenderung mengaplikasikan politeness strategies dalam merespons permintaan maaf. Hal ini disebabkan oleh konteks budaya masing-masing yang mendorong penggunaan tuturan tidak langsung serta menjaga ekspresi wajah lawan bicara,” jelasnya. 

Lebih lanjut, Rafida mengungkapkan bahwa hasil penelitiannya juga menunjukkan tidak adanya perbedaan cara komunikasi berdasarkan gender dalam merespons permintaan maaf. Hal ini menandakan adanya pergeseran nilai budaya antargender, sebab pada zaman dahulu terdapat perbedaan tuturan antara perempuan dan laki-laki.

Kolaborasi Tanpa Batas

Melalui partisipasinya dalam konferensi internasional itu, Rafida menceritakan momen yang paling berkesan baginya. “Salah satu momen berkesan yaitu ketika sesi tea time dan makan siang. Semua peserta sangat terbuka untuk sharing satu sama lain hingga bertukar kontak. Jadi interaksinya tidak hanya pada saat presentasi dan tanya jawab saja,” ujarnya.

Selanjutnya, Rafida merasa tak ada batasan untuk berkolaborasi dalam gelaran internasional itu. “Meskipun banyak peserta yang lebih senior yang lebih berpengalaman, mereka sangat terbuka dan mau berbagi ilmu satu sama lain. Saya rasa, tidak ada batasan atau senioritas untuk berkolaborasi dengan peserta yang lebih muda,” kata Rafida.

Penulis: Raissyah Fatika

Editor: Yulia Rohmawati