UNAIR NEWS – Pemerintahan Bashar Al-Assad resmi jatuh pada Minggu (8/12/2024). Jatuhnya rezim Assad tersebut memberikan dampak bagi stabilitas politik, khususnya di kawasan Timur Tengah. Peristiwa ini memicu berbagai reaksi internasional, termasuk serangan dari Israel ke Suriah.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga (UNAIR) Fadhila Inas Pratiwi S Hub Int MA menyebut Pemerintahan Bashar Al-Assad penuh dengan kontroversi. Sejak 2011, Assad mengandalkan kekuatan militer dan aliansi strategis dengan Rusia dan Iran untuk melawan rakyat sipil yang menginginkan reformasi.
Tindakan represifnya, termasuk penggunaan senjata kimia, memicu kritik internasional dan menyebabkan lebih dari 620.000 kematian. “Cara yg dilakukan Assad selama menjabat sebagai Pemimpin Suriah sangatlah kontroversial,” ujarnya.
Dinamika Pasca Jatuhnya Assad
Dengan jatuhnya rezim Assad, peta politik Suriah kini berada di tengah persimpangan. Terlebih, adanya konflik antara Palestina dan Israel membuat situasi Timur Tengah semakin tidak stabil.
“Menurut saya, lengsernya Assad akan jauh lebih berpengaruh kepada kondisi domestik Suriah itu sendiri. Masih menjadi tanda tanya bagaimana Suriah ke depannya, sistem pemerintahan apa yang akan dianut. Serta kelompok militan mana yang akan memimpin. Namun, setidaknya rakyat Suriah bisa bernapas lega, karena selama ini rezim Assad banyak melakukan pelanggaran HAM terhadap,” jelas Fadhila.
Selain itu, lengsernya Assad memicu serangan Israel ke wilayah Suriah. Serangan ini bertujuan untuk mencegah potensi ancaman dari kelompok militan pro-Iran yang memanfaatkan kekosongan kekuasaan. “Jika Assad jatuh, ancaman terhadap Israel bisa meningkat. Terutama jika kekosongan kekuasaan di Suriah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ekstremis atau militan yang lebih agresif terhadap Israel,” ucap Dosen FISIP UNAIR itu.
Dalam hal ini, berarti Israel lebih memperhatikan dampak dari jatuhnya rezim Assad dalam hal keamanan nasional daripada ambisi geopolitik. Pemerintah Israel berfokus dalam mencegah pengaruh Iran yang semakin besar di Suriah yang bisa menciptakan potensi ancaman langsung terhadap Israel.
“Meskipun ambisi geopolitik tetap menjadi faktor, Israel lebih fokus pada langkah-langkah yang memitigasi ancaman langsung dari kelompok yang berafiliasi dengan Iran atau yang anti-Israel,” tambahnya.
Lebih lanjut, Fadhila menuturkan bahwa Israel juga memanfaatkan situasi tersebut untuk memperkuat klaim atas Dataran Tinggi Golan. Dataran tersebut merupakan wilayah strategis yang selama ini menjadi sengketa antara kedua negara. “Israel masih tetap serakah dengan konflik teritorial dengan Suriah. Terbukti lengsernya Assad menjadi kesempatan bagi Israel untuk merebut dataran tinggi Golan yang selama ini status kepemilikan dataran tinggi tersebut adalah milik Suriah,” terang Fadhila.
Dampak Serangan
Serangan Israel ke Suriah memperburuk kekosongan kekuasaan yang ada. Kekacauan ini membuka peluang bagi kelompok-kelompok ekstremis untuk muncul dan memperkuat posisi mereka. “Kekosongan kekuasaan akibat dari dua dekade konflik antara pemerintah, oposisi, dan militansi dapat menciptakan ruang baru bagi kelompok-kelompok yang sebelumnya terdesak. Atau bahkan baru muncul untuk lebih memperkuat posisi mereka dalam mengambil alih pemerintahan di Suriah,” jelas alumnus University of Birmingham itu.
Oleh karena itu, keterlibatan aktor internasional dalam membantu Suriah sangat penting untuk mencegah negara tersebut jatuh ke dalam kekacauan lebih lanjut. Bantuan ini perlu, untuk memastikan transisi pemerintahan yang stabil dan mencegah dominasi kelompok militan yang dapat memperburuk situasi keamanan regional.
Penulis: Anggun Latifatunisa
Editor: Yulia Rohmawati