UNAIR NEWS – Biasanya, orasi ilmiah merupakan salah satu penyampaian jenis karya ilmiah, pemikiran, gagasan, yang disampaikan dalam kegiatan akademik di kampus. Dalam kegiatan orasi yang biasanya formal, terdapat proses seremonial dengan kostum khusus khas dunia kampus.
Namun begitu, tidak dengan Dr. Herlambang Perdana Wiratraman, dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR). Dosen yang dinobatkan sebagai salah satu dari lima puluh pemimpin inspiratif bidang Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Equitas, Montreal, Canada pada tahun 2017 ini diundang dalam aksi kamisan 544, Kamis (12/7) lalu.
Aksi kamisan atau aksi payung hitam menolak diam adalah aksi damai yang terus diikuti oleh para korban maupun keluarga pelanggaran HAM di Indonesia. Aksi ini telah berlangsung setiap hari Kamis sejak sejak 18 Januari 2007.
“Aksi kamisan yang sudah 544 kali di depan istana merupakan upaya perjuangan HAM yang sangat penting posisinya. Sebab, aksi tersebut hadir di tengah situasi dan politik hukum yang belum berpihak kepada korban HAM,” terang Herlambang.
“Impunitas menjadi persoalan dasar dari kebuntuan hukum dan politik. Aksi kamisan ini sesungguhnya upaya merawat kecerdasan bangsa. Dan hadir di sana merupakan bagian dari upaya merawat ingatan tentang kejahatan HAM,” tambahnya.
Dalam kesempatan orasi itu, Herlambang menjelaskan pemikirannya tentang hukum HAM, human rights constitualism, dan impunitas dalam desain hukum RKUHP. Beberapa poin tersebut adalah ketika terjadi pelanggaran HAM berat, maka setiap negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menuntut dan menghukum secara setimpal para pelakunya.

Selain itu, negara juga mesti memberikan amnesti kepada para pelaku sampai mereka dituntut di depan pengadilan. Kemudian, politik hukum harus mengembangkan strategi berhukum dengan paradigma structural functional based constitualism, tapi juga bertentangan dengan paradigma human rights based constitutualism.
Tidak hanya itu, negara juga harus menegaskan posisi dan kordinat navigasi politik hukum penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat dengan mengedepankan: menghentikan sirkuit impunitas dan melipat karpet merahnya, mendorong pemulihan hak-hak korban, dan mengupayakan hak-hak mereka terpenuhi. Serta, menciptakan imajinasi peradaban kemanusiaan yang bisa mencegah berulangnya kekerasan, kejahatan, dan pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Tidak perlu ragu bagi para akademisi maupun intelektual dunia pendidikan tinggi untuk hadir dan bersama memberikan ilmu dan pengetahuannya untuk publik secara langsung. Mudah-mudahan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam bentuk orasi ilmiah itu sampai pesannya pada presiden dan meneruskannya dalam kebijakan nyata untuk memberi perlindungan HAM,” tutur Herlambang usai melakukan orasi. (*)
Penulis : Pradita Desyanti
Editor: Binti Q. masruroh