UNAIR NEWS – Masyarakat Tionghoa di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, merayakan Cap Go Meh pada Rabu (12/2/2025). Perayaan ini bukan hanya menjadi momen penting bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga dirayakan oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Tradisi khas Tionghoa itu ditandai sebagai simbol keberagaman serta keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Artikel ini mengulas pandangan dan wawasan dari Olivia SE MA, mahasiswa S3 Ilmu Sosial FISIP UNAIR. Ia memberikan perspektif mengenai sejarah, makna, serta perkembangan tradisi tersebut di Indonesia. Cap Go Meh merupakan salah satu perayaan penting dalam budaya Tionghoa. Perayaan ini menandai berakhirnya rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek. Dalam bahasa Mandarin, perayaan ini disebut 元宵節 (Yuánxiāo Jié) atau Lantern Festival.
“Cap Go Meh merupakan hari penutup perayaan musim semi atau Imlek yang dirayakan pada hari ke-15 bulan pertama kalender lunar Tionghoa. Disebut juga dengan Festival Lampion karena masyarakat membawa dan menggantung lampion di mana-mana,” ujarnya.
Adaptasi dengan Budaya Lokal
Di Indonesia, tradisi khas Tionghoa ini telah beradaptasi dengan budaya lokal. Salah satu bentuk akulturasi yang paling terkenal adalah munculnya kuliner khas “Lontong Cap Go Meh”, yang memiliki kemiripan dengan lontong sayur Jawa, tetapi dengan tambahan rebung, bubuk ebi, dan koya. Beberapa daerah bahkan memiliki ciri khas sendiri dalam merayakan Cap Go Meh, seperti Singkawang yang terkenal dengan pertunjukan Tatung.
Seiring berjalannya waktu, perayaan tradisi tersebut mengalami perkembangan dalam cara perayaannya di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa elemen budaya khas yang masih tetap bertahan adalah pertunjukan barongsai (舞狮, wǔ shī) dan tarian naga (舞龍, wǔ lóng). Kedua tarian ini melambangkan keberuntungan dan keberanian. Selain itu, lampion tetap menjadi simbol utama dalam perayaan ini, karena dipercaya dapat mengusir kesialan dan membawa harapan baru.
“Saat ini, perayaan Cap Go Meh bukan hanya menjadi tradisi komunitas Tionghoa. Akan tetapi, juga berkembang menjadi ajang budaya yang memperkuat toleransi dan keharmonisan antar etnis,” jelas Olivia.
Dampak Ekonomi Positif
Festival-festival dalam rangka merayakan tradisi khas Tionghoa tersebut di berbagai daerah juga memberikan dampak ekonomi yang positif. Terutama dalam sektor pariwisata dan perdagangan. Dalam menghadapi arus modernisasi, generasi muda Tionghoa pun memiliki cara tersendiri dalam melestarikan tradisi tersebut.
“Banyak anak muda yang tetap mempertahankan tradisi ini dengan mengadakan acara makan bersama Lontong Cap Go Meh, mengirim hampers dengan desain menarik, serta mempromosikan budaya ini melalui media sosial,” tambah Olivia.
Perayaan Cap Go Meh di Indonesia tidak hanya sekadar tradisi tahunan bagi masyarakat Tionghoa, tetapi juga wujud nyata dari keberagaman dan toleransi budaya. Dengan berkembangnya cara perayaan dan keterlibatan berbagai pihak, Cap Go Meh memperkuat harmoni sosial di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural.
Penulis: FISIP UNAIR