UNAIR NEWS – Kebijakan pengembalian jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) turut menuai tanggapan, termasuk dari kalangan akademisi. Salah satunya datang dari Guru Besar Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Tuti Budirahayu Dra MSi. Ia menyebut bahwa penjurusan model lama ini merupakan sistem usang warisan zaman kolonial.
“Penjurusan seperti IPA, IPS, dan Bahasa perlu dikaji ulang. Seharusnya pemerintah menyusun kebijakan pendidikan yang lebih progresif dan selaras perkembangan zaman, termasuk memperhatikan ketersediaan sarana, prasarana, serta sumber daya guru,” tegas Prof Tuti.
Ia menilai bahwa sistem pembelajaran yang ideal untuk siswa SMA seharusnya fleksibel dan adaptif. Menurutnya, perlu adanya penyesuaian dalam pengembangan minat, bakat, serta potensi akademik maupun non-akademik siswa, khususnya terkait persiapan dalam memilih jurusan di universitas.
Prof Tuti menegaskan pula bahwa kebijakan pendidikan nasional sebaiknya dirancang dalam jangka panjang sebagai blue print yang bisa diikuti pemerintahan selanjutnya. “Jangan sampai setiap pergantian rezim, lalu berganti menteri, kebijakan ikut berubah. Pendidikan harus punya arah yang jelas dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya serta tujuan pendidikan nasional, setidaknya untuk 25 hingga 50 tahun ke depan,” tambahnya.
Model Penjurusan di Negara Maju
Melalui wawancara dengan UNAIR NEWS, Prof Tuti membandingkan sistem pendidikan di Indonesia dengan negara-negara maju. Menurutnya, tidak ada lagi pengkotak-kotakan siswa yang hanya didasarkan atas beberapa jurusan.
Melalui penuturannya, Prof Tuti menjelaskan bahwa penjurusan sekolah di Singapura dibuat fleksibel dan memungkinkan siswa dapat memilih mata pelajaran dari lintas bidang. Di Jepang dan Jerman, siswa SMA memiliki lebih banyak pilihan, termasuk jalur akademik atau vokasional, serta model pendidikan dual system yang menggabungkan pembelajaran di sekolah dengan pelatihan kerja. Sementara di Amerika Serikat, tidak ada sistem penjurusan formal dan siswa bebas memilih mata pelajaran sesuai minat dan rencana karir.
“Dengan sistem seperti itu, apa yang dipelajari siswa ketika di SMA akan lebih relevan dengan bidang yang ingin mereka dalami di perguruan tinggi,” jelasnya.

Penataan Kembali dan Inovasi
Sementara itu, terkait wacana akan penerapan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai alat validasi nilai rapor dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) nanti, Prof Tuti menyatakan tidak keberatan selama TKA mampu mengukur potensi akademik siswa secara valid dan akurat. Ia justru menyoroti realitas bahwa sistem penjurusan lama sering kali menutup peluang siswa untuk berkembang secara utuh.
“Banyak siswa dipaksa masuk jurusan IPA dianggap lebih superior, padahal minat dan potensinya tidak di situ. Akhirnya saat masuk perguruan tinggi, mereka tidak bisa mengambil jurusan yang sesuai minat bakatnya,” ucapnya.
Pada akhir, Prof. Tuti menekankan pentingnya reformasi pendidikan untuk jangka panjang. Ia mengkritisi kebijakan populis yang sering kali tidak dibarengi evaluasi mendalam, seperti peluncuran program ‘Sekolah Rakyat’ yang justru dinilai berpotensi mengorbankan sekolah-sekolah dengan keterbatasan fasilitas.
“Jangan membuat kebijakan yang tumpang tindih, tidak mengakar, dan tidak didasarkan atas kajian dan data yang menyeluruh. Pemerintah perlu berani berinovasi,” tutupnya.
Penulis: Nur Khovivatul Mukorrobah
Editor: Khefti Al Mawalia