Universitas Airlangga Official Website

Bahas Kesenjangan Pendidikan, Mahasiswa UNAIR Raih Dua Penghargaan di China

Sesi penyerahan sertifikat kepada Hafidhoh Maulidiyah atas penghargaan sebagai Best Oralist pada YLEC 2025 di China. (Foto: Dok. Narasumber)
Sesi penyerahan sertifikat kepada Hafidhoh Maulidiyah atas penghargaan sebagai Best Oralist pada YLEC 2025 di China. (Foto: Dok. Narasumber)

UNAIR NEWS – Hafidhoh Maulidiyah, mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR), sukses menorehkan prestasi di kancah internasional. Lidya, sapaan akrabnya, meraih penghargaan sebagai Best Oralist dan Best Project dalam ajang Youth Leaders Exchange and Conference (YLEC) di China 2025.

Gold Nation Indonesia menyelenggarakan program tersebut secara luring di China pada (15/4/2025) hingga (18/4/2025) dengan rangkaian pembekalan daring sejak Februari. Selain konferensi sebagai agenda utama, peserta juga mengikuti kunjungan akademik ke sejumlah universitas ternama seperti Tsinghua University dan Peking University.

“Secara garis besar, YLEC ini adalah program konferensi dan pertukaran. Kami akan memecahkan suatu kasus berdasarkan tema, lalu mempresentasikan solusi yang kami rancang dalam kelompok. Selain kunjungan universitas, ada juga sesi tur budaya di beberapa situs ikonik,” jelasnya.

Kolaborasi Lintas Bidang, Wujudkan Proyek Inklusif

Keterlibatan Lidya dalam program ini berangkat dari ketertarikannya pada tema besar YLEC 2025 yang bertajuk Enhancing the Resilience of Young Leaders Amid Digitalization Through Global Collaboration. “Tema ini sangat relevan dengan minat saya terhadap isu digitalisasi dan kolaborasi lintas bidang, yang telah saya tekuni sejak mengikuti program Digistar,” tuturnya.

Dalam forum konferensi, Lidya bersama timnya mengangkat proyek edukasi bertemakan Stand for Life: No More Left Behind. Proyek ini mereka rancang sebagai solusi terhadap kesenjangan pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan, khususnya bagi remaja usia 16 hingga 18 tahun yang rentan putus sekolah. Proyek tersebut menekankan tiga aspek utama, yakni literasi, numerasi, dan kewirausahaan.

“Kami berdiskusi intensif lintas bidang untuk merumuskan solusi. Kebetulan mentor tim kami berasal dari latar belakang teknologi, sehingga banyak sekali dukungan dari segi tools dan efisiensi kerja,” ujarnya. 

Setelahnya, peserta akan mempresentasikan proyek dalam bentuk pitch deck, presentasi kelompok, serta sesi tanya jawab. Upaya mereka berhasil mengantarkan proyek ini sebagai Best Project di antara seluruh peserta. Tak hanya itu, kemampuan Lidya dalam menyampaikan gagasan secara lugas dan menyeluruh dalam forum juga membuatnya terpilih sebagai Best Oralist.

Hafidhoh Maulidiyah ketika mempresentasikan proyek Stand for Life: No More Left Behind saat forum konferensi pada YLEC 2025. (Foto: Dok. Narasumber)
Pembelajaran dari Negeri Tirai Bambu

Tak hanya soal akademik, pengalaman Lidya di China juga memperluas wawasan budaya dan idealismenya. Selain mengunjungi destinasi bersejarah seperti Temple of Heaven dan Tembok Besar China, ia juga berdiskusi langsung dengan diplomat di Indonesian Embassy, Beijing.

“China menginspirasi saya karena mereka mampu menyeimbangkan ilmu humaniora dan sains teknologi tanpa memisahkan keduanya. Selain itu, energi dan semangat orang-orang yang saya temui di sana sangat positif dan menular,” pungkasnya.

Terakhir, menurut Lidya, kunci utama untuk meraih prestasi bukan hanya terletak pada kemampuan, tetapi juga pada cara pandang terhadap diri sendiri. “Bersikap realistis adalah langkah awal yang penting, kita tidak boleh terjebak dalam rasa rendah diri, namun juga harus menghindari penilaian yang berlebihan pada diri sendiri. Dengan mengenali potensi, kita dapat menyusun langkah sesuai tujuan hidup,” tutupnya.

Penulis: Fania Tiara Berliana Marsyanda

Editor: Ragil Kukuh Imanto