Universitas Airlangga Official Website

Dies Natalis HIMA MKSB, Bahas Budaya dan Sastra Digital

Adrea Kristatiani SHum MHum (kiri) serta Rima Firdaus Lahdji SHum MHum (kanan) saat menyampaikan materi dalam Seminar Nasional HIMA MKSB UNAIR pada Jumat (9/5/2025). (Foto: Dok. Panitia)
Adrea Kristatiani SHum MHum (kiri) serta Rima Firdaus Lahdji SHum MHum (kanan) saat menyampaikan materi dalam Seminar Nasional HIMA MKSB UNAIR pada Jumat (9/5/2025). (Foto: Dok. Panitia)

UNAIR NEWS – Himpunan Mahasiswa Magister Kajian Sastra dan Budaya (HIMA MKSB) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar Seminar Nasional bertajuk Sastra dan Budaya di Era Digital: Transformasi, Tantangan, dan Peluang. Acara yang menjadi bagian dari Dies Natalis HIMA MKSB ke-16 tersebut berlangsung pada Jumat (9/5/2025) di Aula Siti Parwati, Gedung FIB, Kampus Dharmawangsa-B UNAIR.

Hadir juga Eddy Dwi Riyanto SS MHum PhD selaku Koordinator Prodi MKSB UNAIR dan Nyoman Suarta SHum MHum selaku Ketua Ikatan Alumni MKSB. Dr Listiyono Santoso SS MHum juga turut hadir memberikan sambutan. Dalam sambutannya, ia menyebut bahwa kita tak bisa menganggap enteng tantangan dunia sastra dan budaya di era digital. Meskipun era digital menjanjikan, tetapi berisiko menurunkan kualitas suatu karya sastra.

“Arena untuk mencerdaskan publik harus mampu meminimalisasi digitalisasi yang merusak kualitas karya sastra. HIMA perlu menjadi garda terdepan dalam membentuk kesadaran akan pentingnya karya yang berkualitas,” ujar Wakil Dekan I FIB UNAIR tersebut.

Algoritma di Balik Budaya Digital

Memasuki sesi utama, Adrea Kristatiani SHum MHum, jurnalis Ayorek sekaligus alumni MKSB UNAIR menyoroti bagaimana media sosial dan algoritma telah mengubah pandangan masyarakat dalam memaknai budaya. Budaya, sambungnya, tak lagi sebatas warisan tradisi, melainkan juga tumbuh dari kebiasaan digital yang melekat dengan keseharian kita. Wujud budaya seperti musik, gaya hidup di mall, hingga meme yang kini beredar luas di internet.

“Media sosial adalah ruang budaya yang kompleks. Algoritma bekerja diam-diam tapi sangat personal, menyesuaikan konten dengan aktivitas dan minat kita. Namun, hal ini juga menciptakan homogenitas, fomo, bahkan menyebarkan hoaks,” jelasnya.

Baginya, memahami kerja algoritma bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga upaya dalam menjaga keberagaman sudut pandang dalam budaya digital yang makin seragam. Literasi digital menjadi bekal penting agar kita tidak hanya menjadi penonton dalam budaya, tetapi juga mampu memilih dan menyaring informasi yang kita konsumsi.

Sastra Digital dan Peran AI

Melanjutkan sesi berikutnya, Rima Firdaus Lahdji SHum MHum, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UNAIR membahas perubahan cara berkarya dalam dunia sastra. Rima melihat bahwa kini siapa pun dapat menulis dan menerbitkan karya tanpa proses panjang seperti pada era cetak zaman dulu. Kehadiran Akal Imitasi (AI) bahkan memberi jalan baru bagi proses kreatif, meski tetap menyisakan pertanyaan tentang orisinalitas dan peran pengarang.

“Ketika pengarang memberi perintah pada mesin untuk membuat puisi, di situlah peran pengarang tetap ada. Mesin tidak akan bekerja tanpa intervensi manusia. Sastra digital menghadirkan kemungkinan baru, bukan ancaman tunggal,” terangnya.

Rima juga menilai, ruang-ruang baru seperti Wattpad, Webtoon, dan generator puisi membuka potensi interaksi yang tak tersedia dalam sastra konvensional. Di era digital saat ini, sastra bukan hanya tentang teks, tapi juga relasi antara penulis, pembaca, dan teknologi yang menyertainya.

Penulis: Fania Tiara Berliana Marsyanda

Editor: Ragil Kukuh Imanto