UNAIR NEWS – Dalam dunia kesehatan, setiap tahun selalu muncul tantangan baru seperti munculnya berbagai penyakit baru, hingga kasus resistensi obat. Oleh karena itu, butuh pengembangan berkelanjutan akan obat baru yang lebih aman dan efektif. Namun, proses perancangan obat baru memerlukan waktu rata-rata 12 tahun hingga 30 tahun untuk terapi gen. Hal ini merupakan paparan orasi ilmiah oleh Prof Dr apt Nuzul Wahyuning Diyah Dra MSi pada pengukuhan guru besar Fakultas Farmasi UNAIR, Kamis 15/5/2025 di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen, Kampus MERR-C UNAIR.
Dalam orasinya, Prof Nuzul menerangkan bahwa proses panjang pembuatan obat harus melalui berbagai tahapan. Mulai dari penemuan senyawa aktif, uji praklinik, uji klinik, hingga mendapat izin edar dari lembaga berwenang. Di tahap akhir, obat masih terus dimonitor untuk melihat efek samping jangka panjangnya.
Tantangan dan Penggunaan LBDD
Dalam perkembangannya, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam pengembangan obat. Namun, sayangnya industri kimia di dalam negeri belum mampu menyediakan bahan dasar untuk membuat obat. Sementara itu, membangun industri bahan baku obat butuh investasi besar dengan risiko kegagalan yang tinggi.
“Maka dari itu, untuk mempercepat proses pengembangan obat, dibutuhkan pendekatan yang lebih efisien dan tepat sasaran. Salah satunya adalah perancangan obat berbasis komputer, khususnya metode yang disebut Ligand-Based Drug Design (LBDD),” paparnya.

LBDD sendiri merupakan metode perancangan obat dengan bantuan sistem komputer, berdasarkan senyawa aktif yang disebut ligan. Metode ini, katanya, memungkinkan para ilmuawan untuk memprediksi bentuk dan struktur kimia dari suatu senyawa memengaruhi kemampuan dalam mengobati suatu penyakit.
“Dengan LBDD, ilmuwan bisa menilai sifat kimia, potensi efek biologis, dan keamanan senyawa hanya dengan simulasi komputer. Jika hasil prediksi menunjukkan hasil baik, barulah senyawa tersebut disintesis dan diuji secara langsung. Cara ini jelas menghemat waktu, biaya, dan tenaga,” papar Dosen Farmasi itu.
Aspirin hingga Antibakteri
Prof Nuzul menjelaskan, beberapa penelitian menunjukkan adanya keberhasilan pendekatan ini. Misalnya, dari 14 turunan aspirin yang dirancang dan disintesis, terdapat dua senyawa yang efek anti inflamasinya lebih baik, dan empat senyawa dengan efek analgesik lebih tinggi dari aspirin. Penelitian lain melibatkan senyawa dari tanaman rosella (Hibiscus sabdariffa), yaitu gossypetin.
“Dengan menggabungkan gossypetin dan senyawa alami lainnya, ditemukan potensi senyawa antibakteri yang bisa melawan bakteri resisten. Bahkan, ada 14 turunan senyawa luteolin yang diprediksi lebih ampuh menghambat enzim bakteri dibandingkan antibiotik umum seperti siprofloksasin,” lanjutnya.
Berkembangnya teknologi komputer membuat pendekatan LBDD dan dan teknik Computer-Aided Drug Design (CADD) semakin menjanjikan guna mempercepat pembuatan obat baru, mulai dari simulasi struktur kimia, prediksi toksisitas, hingga menilai keampuhan obat.
“Harapannya, di masa depan Indonesia semakin mandiri dalam pengembangan obat, asal terus mengembangkan riset di bidang kimia medisinal dan memperbanyak kolaborasi lintas disiplin,” tutupnya.
Penulis: Febriana Putri Nur Aziizah
Editor: Yulia Rohmawati