n

Universitas Airlangga Official Website

Gangguan Kesehatan Mental dalam Belenggu Budaya Diam

Ilustrasi gangguan mental. (Sumber: republika.co.id)

UNAIR NEWS – Pepatah Latin mengatakan, mens sana in corpore sano, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Pernyataan tersebut seolah merefleksikan tentang pentingnya peran aspek psikis dalam menunjang kesehatan fisik.

Ketika manusia sehat secara jasmani namun bermasalah pada rohani, maka ia tak bisa dikatakan sehat seutuhnya. Apabila kesehatan mental seseorang terganggu, ia akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang dapat mengarah pada perilaku buruk.

Beberapa contoh jenis gangguan kesehatan mental adalah stres, depresi, gangguan kecemasan, bipolar, ADHD (Attention Deficit and Hyperactivity Disorder), dan masih banyak lagi.

Hingga dewasa ini, kesehatan mental menjadi hal krusial yang cukup sering diabaikan. Mulai dari gangguan mental ringan hingga berat. Kerap kali, gejala gangguan mental muncul tanpa disadari oleh penderita maupun lingkungannya. Sebab, gejala gangguan mental tak hanya cukup diamati secara kasat mata. Jika tidak segera mendapat penanganan yang tepat, maka akan berakibat fatal pada kondisi psikologis seseorang.

Untuk mengetahui apakah seseorang mengidap gangguan mental, dosen psikologi Universitas Airlangga, Margaretha, S.Psi., P.G.Dip.Psych.,M.Sc., memberikan penjelasan sebagai berikut.

Pembuatan diagnosa

Dalam melakukan penyusunan diagnosa terhadap klien, seorang psikolog harus melakukan serangkaian proses pengambilan data. Margaretha menyebutkan, penyusunan diagnosa adalah suatu proses ilmiah, sehingga diagnosa tidak bisa didasarkan dengan asumsi atau menduga-duga.

“Dugaan memang, tapi dugaan yang punya dasar. Harus ada obsevasi yang cukup kompleks, kemudian melakukan penggalian informasi kepada klien atau orang-orang di sekitarnya untuk memberikan konfirmasi. Dari situ baru kita mencari pola, seperti sebaran data. Kira-kira ini gejala yang muncul apa,” jelas alumni S1 Psikologi UNAIR tersebut.

Margaretha menambahkan, untuk profesional awal, masih diperlukan buku panduan untuk mendiagnosa gangguan kejiwaan.

“Jangan pernah membuat diagnosa tanpa data yang cukup lengkap. Intinya kita tidak boleh mudah melabeli orang,” tegasnya.

Selama ini banyak orang yang menyebut penderita gangguan mental dengan sebutan gila. Padahal, menurut Margaretha, secara terminologi, kata gila tidak menggambarkan apapun di bidang psikologi.

“Bahkan itu hanya kata populer tapi maknanya tidak ada,” imbuhnya.

Jangan Diam

Margaretha juga mengungkapkan, budaya yang ada di masyarakat ketika melihat orang yang mengalami gangguan mental adalah diam. Mereka cenderung tidak mau ambil pusing dengan masalah orang lain.

Bukan urusan gue, justru itu bisa memperparah kondisi korban gangguan mental. Jika kita mau bantu, ngga perlu bawa ke rumah sakit, kasih obat, cukup bicara kalau ada masalah. Supaya dia sadar dia butuh bantuan. Karena dengan kita menyadari, kita juga mempengaruhi kesadaran lingkungan kita,” terangnya.

Hal itu merupakan salah satu langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk membantu orang-orang yang memiliki gangguan mental. Seseorang harus berani untuk angkat bicara untuk menyelesaikan duduk perkara.

Tak jarang, gangguan mental memiliki keterkaitan dengan tindak kekerasan. Baik gangguan mental yang mengakibatkan seseorang melakukan tindak kekerasan maupun korban kekerasan yang kemudian mengalami gangguan mental.

Margaretha memberi contoh kasus kekerasan anak di Bali yang sempat menggegerkan Indonesia beberapa tahun lalu. Tindak kekerasan yang berujung pada hilangnya nyawa bocah perempuan berusia 8 tahun itu, salah satunya juga diakibatkan oleh orang-orang terdekat korban hanya mendiamkan fakta yang terjadi.

“Bagaimana kita tahu kapan harus bicara, yaitu kita harus punya wawasan, empati, berpikir kritis. Kesehatan mental bukan tidak sakit. Kesehatan mental adalah ketika seseorang bisa mengaktualisasi potensinya, bisa menyelesaikan stres hidupnya, bisa produktif, dan bisa berkontribusi pada masyarakatnya,” pungkas perempuan yang juga pernah menempuh studi Perkembangan Psikopatologi di Universiteit Utrect, Belanda, tersebut. (*)

Penulis : Zanna Afia Deswari

Editor: Binti Q. Masruroh