Kanker merupakan salah satu penyakit yang paling mengancam dalam dunia kesehatan. World Health Organization (2012) melaporkan bahwa dua jenis kanker yang menelan korban paling banyak di dunia adalah kanker paru- paru (1,69 juta korban) dan kanker hati (788.000 korban). Kanker hati atau secara ilmiah dikenal dengan nama Hepatocelular Carcinoma (HCC) adalah pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel-sel ganas di hati yang dihasilkan dari sel-sel abnormal pada hati (primer) maupun akibat dari penyebaran kanker dari bagian tubuh lain (sekunder). Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (2013) menyebutkan bahwa 80 persen kasus HCC di dunia berada di negara sedang berkembang seperti Afrika Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara, salah satunya di Indonesia.
Dalam dunia pengobatan kanker, sejauh ini operasi dan kemoterapi masih merupakan metode terapeutik utama pasien HCC, disamping metode pencegahan seperti imunisasi Hepatitis B. Namun, penerapan obat terapeutik memiliki beberapa keterbatasan, seperti efek samping, penekanan hemopoietik (hemopoietic suppression), efikasi yang terbatas, imunotoksisitas dan resistensi obat. Baik immunoterapi maupun kemoterapi membutuhkan biaya pengobatan yang sangat tinggi yang tidak bisa dijangkau oleh masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, dimana mayoritas penduduknya berstatus ekonomi menengah ke bawah. Kondisi ini mengakibatkan para ahli mulai mencari opsi pengobatan yang lebih aman dan terjangkau, yaitu dengan memanfaatkan kandungan bahan alam.
Penggunaan polisakarida sebagai anti kanker telah dimulai sejak tahun 1946 dengan ditemukannya kemampuan polisakarida dalam menginduksi remisi komplit pasien penderita kanker. Okra (Abelmoschus esculentus L.), juga dikenal sebagai kacang lendir di Riau dan kacang arab di Kalimantan Barat, merupakan salah satu tanaman yang kaya akan kandungan polisakarida, vitamin C, maupun senyawa metabolit sekunder. Tanaman ini populer di Indonesia sebagai bahan makanan.
Tim penelitian dari Fakultas Sains dan Teknologi sedang mengembangkan potensi Okra Raw Polysaccharide Extract (ORPE) sebagai antikanker serta membandingkan kemampuan antikanker dengan obat sintetis yang biasa digunakan untuk kemoterapi. Ekstraksi ORPE dilakukan dengan menggunakan etanol absolut dan air. Pengukuran pertumbuhan sel Huh7it dan aktivasi sel NK dilakukan dengan metode MTT [3-4, 5-dimethylthiazole-2-il-2,5 diphenyltetrazolium bromide]. Pengukuran persentase apoptosis sel Huh7it dilakukan dengan pemberian antibodi Annexin V-FITC dan Propidium Iodide dan dianalisa dengan flowcytometry. Hasil menunjukkan bahwa ORPE secara signifikan mampu menghambat pertumbuhan sel kanker Huh7it, meningkatkan aktivasi sel NK, dan memicu terjadinya apoptosis pada sel kanker Huh7it. Dosis pemberian ORPE dengan kemampuan anti kanker paling optimal adalah dosis 600 µg/mL.
Hal yang menarik adalah pemberian ORPE tidak mengakibatkan kematian pada sel sehat (sel NK). Hal ini berbeda dengan obat sintetis kemoterapi, doxorubicin. Pada pemberian doxorubicin 10µg/ml saja, sel NK yang teraktivasi hanya 18,61%, artinya lebih dari separuh sel mengalami kematian. Fakta ini menunjukkan bahwa ORPE memiliki aktivitas antikanker yang lebih aman untuk diaplikasikan pada manusia. Penelitian ini juga merupakan penelitian pertama mengenai fungsi farmakologi okra di ranah imunologi kanker. Sehingga, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tolak ukur awal untuk penelitian selanjutnya dalam upaya penyembuhan penyakit kanker yang aman dan terjangkau.
Penulis: Prof. Win Darmanto, M.Si., Ph.D
Detail tulisan ini dapat dilihat di:
Suhailah Hayaza, Sri Puji Astuti Wahyuningsih, Raden Joko Kuncoroningrat Susilo, Adita Ayu Permanasari, Saikhu Akhmad Husen, Dwi Winarni, Hunsa Punnapayak1, Win Darmanto. 2019. Anticancer activity of okra raw polysaccharides extracts against human liver cancer cells. Tropical Journal of Pharmaceutical Research August; 18 (8): 1667-1672.