UNAIR NEWS – Jumlah pengendara sepeda motor yang tinggi di Indonesia turut disertai dengan tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Akibatnya, kasus korban dengan trauma kepala dan wajah tercatat sebagai salah satu kasus yang cukup banyak ditangani di rumah sakit. Di RSUD Dr. Soetomo sendiri kasus tersebut mencapai 180-200 kasus per tahun.
Sayangnya, urgensi kasus trauma kepala dan wajah yang banyak terjadi belum sepenuhnya diimbangi dengan kemampuan tenaga medis yang mumpuni. Demikian diungkapkan oleh dr. Indri Lakhsmi Putri, Sp.BP-RE(KKF). Menurutnya, akibat keterlambatan maupun kesalahan dalam penanganan kasus trauma kepala dan wajah selama ini seringkali mengakibatkan pasien kecelakaan tidak tertangani dengan baik.
Maka dari itu, untuk meningkatkan pemahaman dan edukasi tenaga medis seputar kegawatdaruratan trauma kepala dan wajah, Departemen Bedah Plastik bersama Departemen Bedah Saraf dan Departemen Anestesi RSUD Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menggelar seminar Multidicipline Lecture tentang “Kegawatdaruratan Trauma Kepala dan Wajah” di Rumah Sakit Universitas Airlangga, Sabtu (21/5).
“Kebanyakan, kasus cedera kepala dan wajah membutuhkan penanganan yang sangat cepat. Sementara untuk beberapa rumah sakit, kasus trauma kepala dan wajah tidak dapat dirujuk langsung ke dokter spesialis. Maka dari itu perlu edukasi bagi para tenaga medis di layanan kegawatdaruratan, untuk meminimalisir kesalahan dan keterlambatan dalam penanganan,” ungkapnya.
Cedera wajah tengah
Salah satu topik yang dibahas dalam acara tersebut adalah kasus Zygoma mozilla fracture atau cedera wajah tengah. Dokter Indri sebagai salah satu ahli di bidang tersebut mengungkapkan, kasus cedera wajah tengah di RSUD Dr. Soetomo terbilang cukup tinggi, yakni sebanyak seratus kasus per tahun.
“Untuk kasus kerusakan wajah tengah, sebenarnya perlu waktu penanganan yang tidak boleh lebih dari dua minggu. Jika penanganannya lebih dari itu, maka pasien akan berisiko mengalami kerusakan permanen. Kalau sudah kondisi begitu maka penanganan selanjutnya akan lebih sulit,” jelasnya.
Dokter Indri berharap, melalui kegiatan seminar multidicipline lecture, para tenaga medis akan lebih mengenal berbagai jenis kasus trauma kepala dan wajah secara lintas disiplin ilmu. Karena kasus kerusakan sekitar kepala dan wajah memiliki keterkaitan satu sama lain dan perlu adanya intergrasi dalam penanganan.
Sementara itu, hal lain yang juga tidak kalah penting dalam kegawatdaruratan adalah mengenai life support. Seperti kebanyakan terjadi, seringkali masyarakat awam menjadi orang pertama yang membantu penyelamatan korban kecelakaan. Sayangnya, tidak semuanya mengerti cara penanganan korban cedera kepala dan wajah secara benar. Alih-alih membantu, salah pertolongan justru memperparah kondisi cedera pada korban.
Dari kondisi tersebut, dokter Indri berharap akan ada program pelatihan khusus menganai life support untuk mengedukasi masyarakat. Sementara kegiatan seminar seperti “Kegawatdaruratan Trauma Kepala dan Wajah” akan menjadi agenda acara rutin setahun sekali. (*)
Penulis: Okky Putri Rahayu
Editor: Defrina Sukma S.