n

Universitas Airlangga Official Website

Menyesap Cerita Seorang Dokter, Pendidik, dan Diplomat

UNAIR NEWS – Guru Besar Emeritus Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. H.R. Soedarso Djojonegoro, dr., AIF, masih aktif mengajar dan menguji tugas akhir mahasiswa hingga sekarang. Pengajar senior berusia 84 tahun pada Departemen Ilmu Faal FK UNAIR ini baru meluncurkan buku berjudul Jalan Pengabdian: Catatan Seorang Dokter, Pendidik, dan Diplomat dalam Mencetak Generasi Bangsa.

Prof. Soedarso pernah menjadi orang nomor satu di kampus ini. Pria kelahiran Pamekasan, 8 Desember 1931, itu pernah menjabat sebagai Rektor selama dua periode. Yakni pada 1984 – 1989, dan 1989 – 1993. Sebelum berkalung gordon emas, dia sempat menjabat sebagai Sekretaris UNAIR  dan Pembantu Rektor III bidang akademik dan kemahasiswaan.

Tentu, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Prof Soedarso. Beberapa waktu lalu, kru News Room UNAIR mendapat kesempatan berbincang dengannya. Beragam kisah terekam dalam obrolan santai tersebut. Mulai cerita perjalanan karir hingga harapannya untuk UNAIR di masa datang. Berikut hasil wawancara lengkapnya.

 Apa perbedaan yang paling terasa ketika Prof. Soedarso menjabat sebagai Rektor UNAIR periode pertama dan kedua?

Perbedaannya sih tidak begitu terlihat. Yang berbeda hanya dalam proses pembangunan fisik. Kalau pada periode pertama, saya meneruskan pembebasan tanah dan mulai mencicil pembangunan fisik di Kampus C. Nah, pada periode kedua, saya meneruskan pembangunan fisik tersebut seoptimal mungkin.

Waktu itu fokus yang saya bangun adalah Kantor Manajemen Kampus C. Awalnya, saya ingin membangun delapan tingkat. Namun, hanya terwujud lima tingkat. Karena proses administrasinya terlalu lama, akhirnya diberhentikan pemerintah. Itu saja yang saya anggap penting dalam hal perubahan.

Jenis-jenis kegiatan pada tahun 1984 tidak begitu banyak variasinya bila dibandingkan dengan zaman sekarang. Sedangkan kalau dari aspek penelitian, selama masa jabatan saya, selalu ada peningkatan.

Dalam bedah buku, Prof. Soedarso sempat bercerita tentang situasi kemahasiswaan pada masa itu. Kepada siapa mereka berdemonstrasi dan apa tuntutannya?

Alhamdulillah tidak ada yang demo ke rektorat. Pada zaman itu, mahasiswa Indonesia lebih banyak demo untuk melawan kebijakan pemerintah. Saat itu kepengurusan antar-organisasi mahasiswa ekstra kampus tidak semenonjol sekarang. Mereka fokus untuk melawan pemerintah. Makanya, sampai ada normalisasi kehidupan kampus. Itu sepanjang yang saya tahu, ya. Tidak pernah sampai (ricuh) yang seperti di Makassar itu.

Bagaimana sikap rektorat terhadap situasi kemahasiswaan pada saat itu?

Saya menerapkan kebijakan bahwa demokrasi itu tidak boleh seenaknya. Karena, pada saat itu pemerintah menerapkan demokrasi terpimpin. Kalau ada protes-protes, silakan. Saya jaga agar semuanya berjalan tertib. Kebetulan, di masa tersebut saya masih menjabat sebagai pembantu rektor III selama tiga periode berturut-turut.

Saya selalu bilang, kalau mau demo, izin terlebih dulu. Kami selalu dampingi. Tidak seperti universitas yang lain. Kalau mereka izin, ya sudah demo saja. Tapi, kami dampingi agar nanti tidak bentrok dengan pihak aparat. Demo saja. Sering itu. Bahkan, anak saya yang masih mahasiswa (pada saat itu), juga sudah berhadap-hadapan dengan aparat di kantor gubernuran Indrapura.

Saya langsung turun ke sana, tetapi tidak dalam posisi memimpin. Jadi, ada sungkan dari kedua belah pihak antara mahasiswa dan aparat.

Bagaimana akhirnya Prof. Soedarso bisa menjadi diplomat?

Jadi, setelah tahun 1993, saya selesai menjabat sebagai rektor. Setelah menjadi rektor, saya kembali ke bagian Ilmu Faal. Pada tahun 1994, masa tugas Duta Besar RI untuk Prancis pada saat itu habis. Maka, harus dicari penggantinya. Tradisi pada waktu itu, duta besar sebaiknya adalah mantan rektor. Kebetulan, mantan rektor pada momen tersebut adalah saya. Saya pun diminta oleh Departemen Luar Negeri (Deplu yang saat ini bernama Kementerian Luar Negeri) dan diusulkan kepada Presiden. Presiden menyetujui.

Bagaimana transisi antara dokter, rektor, dan duta besar? Apa tugas yang diemban Prof. Soedarso pada saat itu?

Semua calon duta besar harus melewati penataran. Apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh, sudah digariskan protokoler. Tugas-tugas itu selalu saya kerjakan dengan anak buah. Harus selalu ada komunikasi yang erat dengan Deplu.

Ketika saya menjadi dubes, yang menjadi masalah adalah wacana disintegrasi Timor Timur (Timtim). Kawasan itu masih termasuk Indonesia. Sebagian pemberontak berkeinginan agar Tiimtim merdeka dengan bantuan Portugal. Itulah yang menjadi kerikil dalam perjalanan tugas saya di Perancis. Maklum, persoalan itu menjadi isu hangat di level dunia. Nah, saya dituntut untuk bisa menjaga nama baik negeri kita.

Saya bertugas di Perancis pada tahun 1995 – 1999. Hampir dua periode. Mestinya, sampai 2001. Tapi, saya mengajukan pengunduran diri ke Menteri Luar Negeri Ali Alatas dengan alasan ingin kembali ke kampus.

Saya lebih senang di dunia pendidikan daripada dunia politik. Akhirnya, pengunduran diri diterima karena kebetulan sudah ada orang yang bisa menggantikan.

Apa yang Anda lakukan setelah kembali ke kampus?

Saya kembali menjadi dosen. Mengajar lagi. Sampai Januari 2002, usia saya melebihi 70 tahun. Akhirnya, saya pensiun. Meski demikian, sampai sekarang tahun 2016, saya diangkat sebagai Guru Besar Emeritus dan masih mengajar. Dari sisi lain, itu (mengajar, Red) keuntungan bagi saya, karena otak saya terus terlatih dan jadi tidak pikun.

Saya juga masih menguji karena masih punya promovendus. Saat ini, saya tidak lagi melakukan penelitian. Biarkan yang muda yang melakukan penelitian. Saya juga masih mempunyai mahasiswa S-2,  S-3 di UNAIR dan Unesa (Universitas Negeri Surabaya).

Sampai saat ini saya juga masih rutin ke FK UNAIR. Saya pun memegang Yayasan Pendidikan Anak Buta dan menjadi Dewan Penyantun di Universitas Wijaya Kusuma.

Saat ini, UNAIR sedang ditarget oleh pemerintah untuk menembus peringkat 500 besar kampus top dunia. Menurut Prof. Soedarso, apa yang perlu ditingkatkan oleh UNAIR?

Sederhana saja. Untuk mencapai mimpi itu, yang perlu ditingkatkan adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Itulah yang selama ini menjadi nilai tambah pada perguruan tinggi berkelas dunia. Dengan meningkatnya kualitas SDM, penelitian-penelitian dan bidang lain akan meningkat. Oleh karena itu, baik pimpinan universitas dan fakultas, harus meningkatkan kualitas SDM masing-masing. (*)

Penulis: Defrina Sukma S.
Editor: Rio F. Rachman