Ukuran keluarga dapat dilihat dalam dua perspektif. Pada tingkat individu (mikro), ukuran keluarga mendefinisikan satu aspek dari latar belakang atau lingkungan keluarga seseorang. Pada konteks ini, makna dan nilai keluarga berkembang sesuai dengan konteks lingkungan masyarakat setempat. Pada tingkat sosial atau masyarakat (makro), ukuran keluarga merupakan indikator struktur masyarakat yang dapat bervariasi dari waktu ke waktu, dengan implikasi bersamaan untuk pengembangan individu dan hubungan sosial dalam kelompok yang berbeda. Pada konteks masyarakat Tengger, khususnya di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, kecenderungan pertambahan jumlah penduduk masyarakat, atau dalam istilah kependudukan disebut sebagai Laju Pertumbuhan Penduduk, terpantau lebih rendah dari Laju Pertumbuhan Penduduk di tingkat provinsi maupun nasional. Menurut informan dukun adat setempat rendahnya laju pertumbuhan penduduk ini terjadi pada tahun delapan puluhan. Inisiasi program keluarga berencana dari pemerintah pada waktu itu didukung oleh kepemilikan lahan pertanian di wilayah Tengger yang semakin sempit.
Pada tahun 2015 laju Pertumbuhan Penduduk di Desa Wonokitri berada pada kisaran 0,27%. Sementara data tahun 2015-2020 laju pertumbuhan penduduk yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik berdasarkan hasil proyeksi penduduk Indonesia 2015-2020 (Pertengahan tahun/Juni) di Indonesia mencapai angka 1,08%. Laju Pertumbuhan Alami (pertumbuhan berdasarkan hanya pada peristiwa kelahiran dan kematian saja) di Desa Wonokitri selama tiga tahun berturut-turut adalah 0,13% pada tahun 2015; 0,24% pada tahun 2016; 0,54% pada tahun 2017; dan 0,00% pada tahun 2018. Secara umum empat tahun angka Laju Pertumbuhan Penduduk di Desa Wonokitri tersebut masih terpaut jauh di bawah Laju Pertumbuhan Penduduk di tingkat nasional. Berdasarkan uraian latar belakang maka artikel ini mencoba menelisik adat, agama, mata pencaharian dan lingkungan yang menjadi alasan bagi suku Tengger memilih ukuran keluarga yang kecil.
Dominasi suku Tengger pada masyarakat yang menempati perdesaan di lereng Gunung Bromo, khususnya Desa Wonokitri, membuat masyarakat di lokasi tersebut cenderung memiliki kesamaan. Masyarakat Desa Wonokitri mayoritas adalah pemeluk agama Hindu Tengger. Topografi Desa Wonokitri yang berada di lereng Gunung Bromo dengan karakteristik tanahnya yang subur membuat masyarakat setempat hampir secara keseluruhan bermata pencaharian sebagai petani atau peladang. Masyarakat suku Tengger di Desa Wonokitri menganggap sama saja antara anak laki-laki atau perempuan. Semua informan menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai kecenderungan gender dalam memilih anak. Mereka menganggap keduanya sama saja. Kecenderungan untuk menyamakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam tatanan masyarakat Tengger di Desa Wonokitri tidak hanya sebatas pengakuan, tetapi juga tampak pada sistem budaya yang berlaku, pada sistem atau hukum waris misalnya. Pembagian warisan orang tua Tengger pada anak-anaknya sam sekali tidak membedakan antara anak laki-laki atau perempuan. Keduanya dianggap memiliki kedudukan dan hak yang sama dalam soal pembagian warisan. Apabila anak laki-laki mendapatkan warisan sepetak tanah, maka anak perempuan juga mendapat sepetak tanah yang memiliki nilai sama.
Secara empiris jarang ditemukan keluarga inti yang memiliki anak lebih dari dua orang. Rata-rata keluarga suku Tengger di Desa Wonokitri memiliki satu-dua orang anak saja. Kalaupun ditemukan yang memiliki jumlah anak lebih dari dua, seringkali adalah keluarga senior (berumur di atas 50 tahun), atau keluarga muda yang mengaku kebrojolan. Kehamilan yang tidak direncanakan, atau tidak disengaja, karena ada sesuatu hal di luar prediksi. Secara praktis masyarakat suku Tengger memiliki alasan tersendiri dengan jumlah anak yang sedikit. Hal ini berkaitan dengan mata pencaharian orang Tengger sebagai seorang petani atau peladang. Mata pencaharian yang mengharuskan hampir seluruh waktunya berada di kebun.Alasan yang diutarakan cukup masuk akal. Membawa serta anak-anak ke kebun menjadi sangat merepotkan, apalagi dalam jumlah anak yang banyak.
Alasan lain memilih untuk hanya membatasi jumlah anak dua saja juga sempat diutarakan oleh masyarakat suku Tengger di Desa Wonokitri. Pertimbangan yang jauh ke depan menjadi alasan tersendiri bagi orang Tengger untuk memilih membatasi jumlah kelahiran.Masyarakat suku Tengger di Desa Wonokitri yang secara keseluruhan menggantungkan hidup dari bertani menyadari bahwa ada keterbatasan lahan pertanian. Jumlah lahan pertanian tetap, tetapi secara jumlah manusianya terus bertambah. Maka harus ada upaya membatasi kelahiran untuk menjaga keseimbangan antara jumlah manusia dan lahan pertanian. Selain alasan praktis dan jangka panjang yang berterkaitan dengan lahan pertanian, argumentasi lain juga dilontarkan masyarakat suku Tengger untuk membatasi jumlah anak hanya dua orang saja. Alasan ini berkaitan dengan masa depan suku Tengger secara keseluruhan. Religi yang diyakini oleh masyarakat suku Tengger di Desa Wonokitri bersumber pada leluhur, baik leluhur yang berasal dari anak keturunan Jaka Seger dan Rara Anteng (leluhur awal mula suku Tengger), maupun leluhur kakek buyut mereka sendiri. Keluar dari wilayah seputar Bromo, maka sama dengan meninggalkan tanah leluhur Tengger.
Penulis: Ratna Dwi Wulandari
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya
Artikel lengkap dapat ditemukan pada tautan berikut: https://www.ijicc.net/images/vol_13/Iss_4/13479_Laksono_2020_E_R.pdf