Universitas Airlangga Official Website

Tumbuh Kembang Anak Balita di Indonesia: Masih Belum Optimal atau Salah Tolak Ukur?

Ilustraasi tumbuh kembang balita. (Sumber: My Baby)

Gangguan tumbuh kembang pada anak didasarkan pada hasil dari 3 pengukuran, yaitu tinggi badan, berat badan, dan usia. Dari 3 pengukuran tersebut, dapat diambil 3 parameter, yaitu stunting (tinggi badan tidak sesuai dengan usia, biasa disebut pendek), underweight (berat badan tidak sesuai dengan usia, biasa disebut berat badan kurang), dan wasting (proporsi antara berat badan dan tinggi badan yang tidak ideal).Berdasarkan data di dunia pada tahun 2011, sebanyak satu dari empat anak di dunia termasuk dalam kategori anak pendek, dan sebanyak satu dari enam anak di dunia termasuk dalam kategori anak dengan berat badan kurang.

Data terbaru pada tahun 2018 menunjukkan sudah adanya perbaikan terkait jumlah tersebut. Namun begitu, jumlahnya masih mengkhawatirkan. Dari seluruh benua di dunia, benua Asia merupakan benua dengan gangguan tumbuh kembang anak terbanyak. Di Indonesia sendiri, hasil riset kesehatan dasar terakhir pada tahun 2018 menunjukkan bahwa presentase kejadian stunting adalah sebanyak 30.8%, underweight sebanyak17.7%, dan wasting sebanyak10.2%. Dari seluruh provinsi di Indonesia, provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan presentase anak pendek dan anak dengan berat badan rendah terbanyak.

Namun begitu, mulai timbul pertanyaan di benak para ahli, apakah memang negara Indonesia ini memiliki presentase anak pendek dan anak dengan berat badan rendah yang tinggi? Ataukah tolak ukur yang digunakan sampai saat ini memiliki standar yang cukup tinggi bagi anak-anak Indonesia sehingga membuat anak-anak Indonesia tampak “pendek” dan memiliki “berat badan rendah”? Hingga saat ini, tolak ukur yang digunakan adalah tolak ukur dari WHO. Tolak ukur dari WHO merupakan tolak ukur yang diambil dari 6 negara di 3 benua, yaitu negara Brazil, Ghana, India, Norwegia, Oman, dan Amerika.

Seperti yang diketahui, orang dari benua lain memang memiliki tinggi dan berat badan rata-rata yang lebih dibandingkan dengan orang dari benua Asia, terutama Asia Tenggara. Mulai bermunculan argumen bahwa penggunaan tolak ukur tumbuh kembang yang spesifik untuk negara tersebut lebih menggambarkan kondisi tumbuh kembang anak di negara itu, dibandingkan dengan menggunakan tolak ukur tumbuh kembang yang dimiliki oleh WHO yang mengeneralisir tumbuh kembang anak di seluruh dunia.

Dr Aman Bhakti Pulungan dari Ikatan Dokter Anak Indonesia pada tahun 2018 telah membuat kurva tumbuh kembang khusus untuk anak Indonesia, dengan menggunakan data dari Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Namun begitu, belum ada penelitian yang membandingkan presentase anak pendek dan anak dengan berat badan rendah di Indonesia jika menggunakan kurva nasional dengan jika menggunakan kurva WHO. Oleh karena itu, kami melakukan penelitian di suatu desa di provinsi Nusa Tenggara Timur untuk membandingkan presentase anak pendek dan anak dengan berat badan rendah antara dua kurva tersebut. Kami memilih untuk mengambil data di Nusa Tenggara Timur karena provinsi ini merupakan provinsi dengan presentase anak pendek dan anak berat badan rendah terbanyak di Indonesia.

Dari satu desa, kami mendapatkan data mengenai tinggi badan, berat badan, dan usia dari 408 anak dibawah usia 5 tahun. Setelah kami mencocokkan hasil pemeriksaan dengan kedua kurva tersebut, kami menemukan hal yang sangat mengejutkan. Jika menggunakan kurva tumbuh kembang milik WHO, maka jumlah anak yang tergolong pendek adalah 2x lebih banyak dibandingkan jika menggunakan kurva nasional. Sama hal nya dengan anak yang tergolong memiliki berat badan rendah dimana presentasenya lebih tinggi jika menggunakan kurva WHO daripada kurva nasional, walaupun perbedaannya tidak se ekstrim klasifikasi anak pendek.

Dari penjelasan singkat terkait penelitian kami, dapat diketahui bahwa dua kurva tumbuh kembang yang ada saat ini menunjukkan perbedaan yang bermakna. Diharapkan pemerintah mampu mengambil sikap, apakah akan tetap menggunakan kurva tumbuh kembang WHO, ataukah akan menggunakan kurva tumbuh kembang yang memang dibuat khusus berdasarkan kondisi masyarakat Indonesia. Sikap dari pemerintah tersebut yang dapat memberi jawaban, apakah tumbuh kembang anak di Indonesia ini memang masih belum optimal? ataukah tolak ukur yang digunakan selama ini memang tidak cocok untuk digunakan di Indonesia?

Penulis: Firas Farisi Alkaff dan Sovia Salamah

Informasi lebih detail terkait tulisan kami dapat dibaca di

https://f1000research.com/articles/9-324