UNAIR NEWS – Ada kekhasan budaya di Indonesia yang memudahkan para antropolog ragawi, dan antropolog forensik dalam mengidentifikasi individu tak beridentitas. Kekhasan budaya yang dimaksud adalah perkawinan endogami. Perkawinan endogami adalah perkawinan dengan orang yang segolongan, entah itu etnis yang sama, daerah yang sama, dan agama yang sama.
Itulah yang disampaikan oleh Prof. Dra. Myrtati Dyah Artaria, M.A., Ph.D., dalam orasi ilmiah saat pengukuhan guru besarnya. Pernyataan itu disampaikan pada Sabtu (27/8) dalam orasi ilmiah berjudul “Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia”.
Perkawinan endogami menyebabkan populasi keturunan cenderung berputar pada lingkaran yang sama, sehingga percampuran gen tidak begitu mengubah ciri-ciri fisik yang diturunkan secara genetis dalam suatu populasi. Efeknya, tentu akan memudahkan antropolog ragawi dalam mempelajari sekaligus mengidentifikasi ciri fisik yang khas dalam suatu populasi di Indonesia. Hal ini diakui oleh Myrta berdasarkan pengalamannya saat menghadiri konferensi antropologi beberapa waktu lalu di Australia.
“Di Indonesia itu masih ada kekhasan. Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa itu cukup berdampak. Dampaknya adalah membawa pertukaran gen yang minim,” tutur guru besar yang akrab disapa Myrta itu.
Ia tak menampik adanya fenomena kawin campur di Indonesia. Namun, adanya kawin campur belum membawa perubahan berarti dalam percampuran gen di Tanah Air. Pernyataan ini diperkuat dengan penelitian Prof. Myrta mengenai antropologi dental, atau yang meneliti tentang gigi manusia.
Pada antropologi dental, misalnya, ia meneliti mengenai erupsi gigi. Ia memaparkan, bahwa erupsi gigi antara keturunan Jawa dan Tionghoa adalah berbeda. “Demikian pula keturunan Arab, ternyata beberapa gigi tumbuh lebih cepat dari dua etnis yang lain,” papar Prof. Myrta.
Dalam kaitannya dengan identifikasi individu tak dikenal, satu set gigi individu menyerupai sidik jari. Bila sidik jari adalah bagian yang mudah sekali rusak, berbeda halnya dengan gigi. Bahkan, dalam peristiwa seperti kebakaran pesawat terbang, gigi akan sulit rusak.
Ketertarikannya dengan penelitian yang berhubungan dengan gigi dilatari oleh profesi ibunya yang merupakan seorang dokter gigi. Namun, Prof. Myrta mengaku tak tertarik berkiprah di bidang kesehatan karena ia sendiri merupakan seorang yang tidak tegaan. Ketika ia mengikuti pertukaran pelajar saat duduk di bangku sekolah menengah atas di Amerika Serikat, Prof. Myrta semakin menyukai bidang ilmu biologi. Apalagi, ia termasuk siswi yang paling pandai di sekolahnya pada masa itu.
Akhirnya, ia memutuskan untuk menekuni minat antropologi. Secara kebetulan, pada masa itu Prof. Joseph Glinka dan rekannya baru saja meresmikan Program Studi Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga. Prof. Myrta merupakan angkatan pertama pada Prodi Antropologi. Karena tertarik dengan dental dan biologi, ia memutuskan untuk menekuni bidang antropologi ragawi dan menekuninya hingga saat ini.
Berbuah manis
Keberhasilan Prof. Myrta menjadi guru besar bidang atropologi ragawi tak lepas dari tangan Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD. Prof. Glinka merupakan salah satu tokoh antropologi senior di Indonesia. Selama 51 tahun di Indonesia, ia ‘baru’ menghasilkan 13 doktor. Satu doktor asuhannya, yakni Prof. Myrta telah menjadi guru besar yang membidangi antropologi ragawi.
Ditemui usai acara pengukuhan guru besar, Prof. Glinka menyempatkan waktunya barang sebentar untuk berbagi kesan mengenai sosok Prof. Myrta. Pria kelahiran Chorzow, Polandia, itu berbangga karena akhirnya salah satu anak didiknya berhasil menjadi profesor seperti dirinya.
“Bahwa saya mengalami salah satu murid saya, bimbingan saya, menjadi guru besar. Untuk saya, itu adalah pengalaman yang luar biasa karena saya memang membimbing untuk doktoral sebagai promotor dan ko-promotor. Saya pikir, saya tak akan mengalami itu. Karena di Indonesia, menjadi guru besar itu sudah mau pensiun. (Anak bimbingan, -red) Yang kedua, sekarang sudah siap-siap. Tidak lama lagi akan jadi (guru besar, -red),” tutur Prof. Glinka ketika berbagi pendapatnya.
Terkait dengan perkawinan endogami, Prof. Glinka mengatakan bahwa hal itu berbahaya karena bisa mengakibatkan kelainan yang muncul pada anak keturunan. (*)
Penulis : Defrina Sukma S.
Editor : Binti Q. Masruroh