Universitas Airlangga Official Website

Antropolog UNAIR Sebut Keterlibatan Masyarakat Adat dalam Pembangunan Indonesia Masih Minim

Ilustrasi hukum adat. (Sumber: www.baliadvocate.com)

UNAIR NEWS – Isu masyarakat adat tidak terlalu terbahas dalam Debat Cawapres 2024. Padahal, masyarakat adat merupakan bagian dari Indonesia yang membuat Indonesia terkenal dengan negara kaya budaya. Pakar Antropologi Hukum UNAIR Dr Sri Endah Kinasih S Sos M Si berpendapat bahwa negara harus mengerti kenapa masyarakat adat penting untuk memperjuangkan hak-haknya. Hal itu ia sampaikan pada wawancara eksklusif dengan tim UNAIR NEWS pada Kamis (25/1/2024). 

“Ternyata memang debat (menganggap, RED) masyarakat adat itu bukan sesuatu yang urgent. Ini kan sebenarnya bagian dari masyarakat Indonesia. Dan, itu seharusnya masuk di dalam visi misi capres-cawapres,” tuturnya. 

Dr Endah mengatakan bahwa pembangunan dari atas ke bawah (top-down) merupakan akar dari masalah tidak adanya pengakuan atas hak masyarakat adat. Ketidakterlibatan masyarakat adat di dalam pembangunan mengakibatkan terjadinya sengketa. Padahal, belum tentu nilai dan norma yang menjadi kepercayaan masyarakat adat sesuai dengan konsep negara atau pemerintahan.

“Misalnya, ketika pengeboran Blok Masela, di Maluku Tenggara Barat. Dia (masyarakat adat) terkait dengan konsep tanah itu sangat tinggi. Konsep yang mereka pikirkan adalah mereka itu sangat bergantung pada tanah adat itu. Pemerintah harus mengerti tentang itu,” jelas dosen FISIP tersebut. 

Menurut Dr Endah, tanah bagi masyarakat adat memiliki nilai tersendiri. Bagaimana hubungan kekerabatan mereka hingga kepercayaan dan keyakinan yang ada di tanah tersebut. “Ketika dipindahkan, direlokasi, mereka kan harus berpikir juga. Misalnya, kita kan punya punden, makam keluarga, atau upacara-upacara keagamaan yang mereka yakini bersama, ketika pindah harus bagaimana? itu yang tidak terpikirkan oleh pemerintahan. Maka, pembangunan itu harus bottom-up (bawah ke atas),” tambahnya.

Menurut Dr Endah, tanah bagi masyarakat adat memiliki nilai tersendiri. Bagaimana hubungan kekerabatan mereka hingga kepercayaan dan keyakinan yang ada di tanah tersebut. “Ketika dipindahkan, direlokasi, mereka kan harus berpikir juga. Misalnya, kita kan punya punden, makam keluarga, atau upacara-upacara keagamaan yang mereka yakini bersama, ketika dipindah harus bagaimana? itu yang tidak dipikirkan oleh pemerintahan. Maka, pembangunan itu harus bottom-up (bawah ke atas),” tambahnya.

Potret Masyarakat Pulau Sumba, Indonesia, yang menganut agama adat Marapu (Sumber: Good News from Indonesia)
Potret Masyarakat Pulau Sumba yang menganut agama adat Marapu (Sumber: Good News from Indonesia)

Demi melancarkan proses pembangunan, pemerintah dan negara harus mengerti hak-hak masyarakat adat. Dr Endah menekankan bahwa ada 46 pasal yang mengatur dalam deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat. Hak ulayat juga bukan berupa tanah saja, tetapi air, tumbuhan, binatang, nilai serta norma masyarakat terkait dengan kepercayaan dan keyakinan mereka juga termasuk ke dalam hak masyarakat adat. 

“Jadi, misalnya Bali, ketika akan membangun tol Banyuwangi ke Bali. Mengapa mereka menolak? di sana ada pura, persembahan, dan jalan itu pasti nantinya akan lebih tinggi berbanding tanah adat Bali. Itu yang harus menjadi perhatian karena tanah ini untuk persembahan ke pura,” imbuhnya.

Ia meminta negara dan pemerintah untuk memperhatikan dan mengerti hak-hak masyarakat adat. “Bumi, air memang dikuasai negara, miliknya negara, tetapi tolong. Mereka kan itu bagian dari indonesia, tolong diperhatikan,” pungkasnya. 

Penulis: Muhammad Naqsya Riwansia

Editor: Feri Fenoria

Baca juga: